Jumat, 26 Oktober 2007

PENYAKIT YANG MENGHAMBAT PERJALANAN

Renungan Hari Ke-13

PENYAKIT YANG MENGHAMBAT PERJALANAN
KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH WA ROHMAH


Allah SWT berfirman (QS 7:172) yang artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’. Mereka menjawab :’Betul, kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :’Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) ”

Alkisah seorang Raja Diraja di satu negri yang super makmur. Kekuasaannya meliputi seluruh alam jagad raya. Bangsa manusia, jin dan binatang semua tunduk padanya. Suatu hari dikumpulkanlah bangsa manusia di satu tanah lapang yang super luas. Mereka diminta untuk pergi ke wilayah yang belum pernah mereka rambah. “Pergilah ke wilayah baru itu. Kalian akan diberi bekal yang sangat cukup. Hidup, berketurunan dan kembangkanlah diri kalian. Setiap berhasil mengembangkan diri, kalian harus mengirim sebagian hasilnya kepadaku. Aku tidak butuh hasil kalian. Tapi pengakuan kalian kepadaku adalah cara penilaianku kepada kalian. Barang siapa yang tetap setia akan aku beri hadiah yang belum pernah kalian rasakan ni’matnya. Yang tidak setia kepadaku akan aku masukkan ke ruang penyiksaan. Kalian jangan menipuku, karena aku mengutus mata-mata. Waktu kalian adalah 70 tahun. Sekarang pergilah kalian”, begitulah pidato pelepasan dari sang Raja Diraja. Tanpa dapat membantah bertebaranlah bangsa manusia itu ke wilayah yang telah ditetapkan. Maka berkembanglah mereka sesuai kemampuan yang mereka miliki.
Tersebutlah seorang bernama Hambu. Orang yang kuat namun sederhana. Dia berusaha dengan seluruh kekuatannya tapi hasil tidak seberapa. Setiap mendapat hasil selalu dikirim sebagiannya kepada Raja Diraja. Terkenallah nama Hambu sebagai orang yang sederhana dan setia. Suatu saat dia menikah dan berumah tangga. Lahirlah anak pertamanya dan diberi nama Ama. Hidupnya masih sederhana dan setia. Sampailah ia dikaruniai anak kedua yang bernama Harlah. Anak yang membawa keberuntungan. Karena mendadak harta Hambu berlimpah. Usahanya merambah seantero wilayah. Mulailah Hambu lupa. Setiap masanya berkirim kepada Raja Diraja, dia selalu berkilah, “Nantilah saja”. Sementara pundi-pundinya berjajar. Mewakili dirinya yang mulai pongah. Bangga pada dirinya. Lupa pada sang Raja Diraja.
Sayangnya pada Harlah, anak pembawa untung, tak terbilang. Diabaikanlah anak pertamanya, si Ama. Lalu lahir pula anak ketiga, bernama Anis. Pundi-pundinya makin tumpah ruah. Janji-janjinya untuk berkirim kepada Raja Diraja sirnalah sudah. Si Ama makin telantar. “Anak sial”, kutuk Hambu. Apa saja yang diminta Harlah dan Anis seketika tersedia. Sementara Ama tak dilihat sebelah mata.
Masa 70 tahun sampailah sudah. Betapa darah Hambu terkesiap. Dia merasa belum siap. Sementara tentara penjemput telah bergerak. Siap membawa Hambu walau dengan paksa. Hambu menggapai Harlah, anak kesayangannya, untuk ikut serta. “Ayah aku tak bisa”, begitu jawab Harlah. Ketika menengok ke Anis. Jawabnya pun sama, “Ayah aku tak bisa ikut serta”. Perlahan matanya beralih kepada Ama. Ternyata Ama telah berkemas. Siap disamping Hambu untuk ikur serta. Berangkatlah tentara dengan membawa Hambu beserta Ama di sampingnya.
Sesampai di depan Raja Diraja, Hambu tak mampu bercerita. Mulutnya terkunci lidahnya terbelenggu. Ama di sampingnya dengan fasih berkisah tentang ayahnya. Tak ada satu detak yang terlewat. Ama ternyata adalah ‘amal’ yang dikirim Raja Diraja. Mendampingi Hambu untuk melihat kesetiaannya. Harlah adalah ‘harta’ amanah dari Raja. Hanya diam tak mampu bercerita. Anis juga titipan Sang Raja, yaitu anak dan istri. Apalah yang mampu dikatakan mereka manakala Hambu mengingkari sang Raja Diraja. Akhir kisah masuklah Hambu ke ruang penyiksaan. Karena janji yang diingkarinya.
Dari kisah di atas kita dapat mengambil hikmah darinya. Bahwa apa yang menyebabkan Hambu berakhir di ruang siksa adalah kepongahan. Kesombongan dan kebanggaan pada diri sendiri. Lupa pada perjanjian awal. Bahwa ia telah mengikat janji setia kepada Raja Diraja. Bahwa ia harus beramal-soleh sebagai ungkapan rasa syukur. Bukan beramal-tholeh (jelek) karena akan kufur. Orang yang sombong ini adalah sebagaimana firman Allah SWT (QS 74:23) yang artinya, “Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri”. Sifat sombong ini adalah sifat iblis (QS 2:34) dan Fir’aun (QS 28:39). Inilah penyakit manusia dan penyakit keluarga yang utama. Ulama mengatakan bahwa penyebab tergelincirnya manusia ada dua, yaitu : sombong dan bodoh. Jika penyebabnya kebodohan, masih bisa diperbaiki. Yaitu dengan diberi nasehat dan informasi yang benar. Maka dia akan mengerti dan memperbaiki diri. Tetapi kesombongan adalah penyakit yang susah diobati. Karena orang yang sombong bukan tidak tahu atau tidak berilmu. Tetapi dia merasa lebih kaya. Lebih berkuasa. Lebih terhormat. Lebih baik. Lebih soleh. Lebih suci. Lebih segala-galanya. Sehingga nasehat akan mental jika disampaikan pada orang sombong.
Penyakit kedua adalah ‘tidak mau bersyukur”. Allah SWT berfirman (QS 7:10) yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di muka bumi dan Kami jadikan bagi kalian di muka bumi itu sumber penghidupan. Amat sedikitlah kalian bersyukur”. Orang yang tidak bersyukur berarti tidak mau menerima bahwa apa pun yang dimiliki, yang melekat, yang dipergunakan, yang menjadi, yang dini’mati dirinya semuanya adalah pemberian Allah SWT. Jika dia tidak mengerti dan tidak menerima bahwa semua ini dari Allah SWT bagaimana mungkin dia akan beribadah kepada Allah?
Penyakit ketiga adalah ‘berkeluh kesah’. Allah SWT berfirman (QS 70:20) yang artinya, “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah”. Allah SWT memerintahkan jika terkena musibah harus bersabar sebagaimana firman-Nya (QS 11:11) yang artinya, “Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana) dan mengerjakan amal soleh, mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar”. Karena orang yang sabar itu mengerti dan menerima bahwa bencana dan kesusahan itu datangnya dari Allah SWT. Maka penerimaannya itu menjadi ibadah baginya. Orang yang berkeluh-kesah berarti tidak mengerti dan tidak menerima bahwa bencana dan kesusahan itu dari Allah SWT. Maka penolakannya itu menjadi dosa baginya.
Penyakit keempat adalah ‘melampaui batas’. Allah SWT berfirman (QS 96:6-7) yang artinya, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup”. Orang atau keluarga yang melampaui batas ini adalah keluarga yang tidak mau meningkatkan ibadahnya. Untuk mengejar karir maka seorang Ayah, bahkan Ibu, bersedia mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu yang sangat besar untuk pendidikannya. Bila mampu dia akan menyelesaikan pendidikan sampai S3. Bahkan ditambah dengan kursus dan pelatihan. Kalau perlu di luar negri. Sementara untuk pendidikan ilmu aqidah, fiqih, akhlaq dan ilmu membaca Al-Qur’an dia enggan mengeluarkannya. Sehingga tidak jarang kita jumpai seorang muslim yang berpendidikan amat sangat tinggi, tetapi tidak lancar atau bahkan tidak bisa membaca Al-Qur’an. Dalam hal ini bukan dimaksudkan melarang untuk mencapai S3 bahkan lebih. Tetapi pencapaian S3 nya itu harus diimbangi dengan pencapaian ibadah, misalkan kelancaran dalam membaca dan mengartikan Al-Qur’an. Jika perlu berusaha pula untuk hafal Al-Qur’an. Mengapa tidak? Bukan karena tidak mampu. Tetapi dia merasa bahwa untuk urusan agamanya dia sudah merasa cukup dengan ilmu dan amal yang ada.
Penyakit yang disebutkan di atas adalah penyakit pokok yang melanda keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Dampaknya adalah menurunnya perhatian generasi muda terhadap disiplin ibadah kepada Allah SWT. Anak muda sekarang umumnya berani meninggalkan sholat wajib tanpa ada perasaan bersalah. Ternyata kasus ini banyak terjadi pada keluarga yang orang tuanya hanya melaksanakan sholat wajib saja tanpa sholat sunnah ba’diyah dan qobliyah. Kasus lain, banyak anak keluarga muslim yang tidak bisa membaca Al-Qur’an. Hal ini terjadi pada keluarga yang orang tuanya tidak lancar membaca Al-Qur’an. Penurunan kualitas ibadah akan terus terjadi dari generasi ke generasi jika perhatian orang tua pada ilmu, amal serta disiplin ibadah tidak memadai. Jika penyakit ini tidak segera diobati, maka dalam dua generasi mendatang akan semakin banyak keluarga muslim yang hanya menyandang sebutan muslim saja, tetapi asing terhadap syariatnya. Na’udzubillah.

MUTIARA HIKMAH :
1. Kriteria utama keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah adalah kemampuannya mengikatkan diri dalam ikatan aqidah kepada Allah SWT dalam seluruh kehidupannya
2. Dengan ikatan aqidah ini maka manusia akan pandai bersyukur, bersabar dan tidak melampaui batas.
3. Perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk mengobati empat penyakit keluarga muslim tersebut sehingga dapat tercapai keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah sebenar-benarnya

1 komentar:

Di balik blog ini..... mengatakan...

Bagus Pak Anom sdh punya blog. Skr, setiap mengirim tulisan atau upload, baiknya ada profil singkat. Ini supaya bila artikel kita dikopi atau ditampilkan di tempat lain, identitas kita tercantum.
Maklum, kadang banyak pengopi tulisan yg lupa menyebutkan sumbernya.
Sukses Pak Anom
~ez