Minggu, 21 Oktober 2007

Niat Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah Wa Rohmah

Renungan Hari Kelima

NIAT MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman (QS 46:15) :
“Ya Robbi, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada Ibu-Bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal soleh yang Engkau ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”

Sore itu, hari kelima Romadlon, Pak Bakri menerawang. Dia baru selesai tadarus Al-Qur’an, setelah sholat ashar. Belum pernah dia merasakan getaran seperti ini. Jam menunjukkan pukul 16.50. Hampir satu jam dia tadarus. Dibukanya lagi Al-Qur’annya, halaman 106, akhir surat An-Nisa. Tadi dia mulai dari awal surat, di halaman 77. “Alhamdulillah ya Allah, aku bisa tadarus 30 halaman sekali baca. Biasanya paling banyak 15 halaman”, gumamnya bersyukur. Dia sering mendengar cerita ustadznya, banyak santri yang tadarus 1 juz dalam 20 menit dengan tartil. Kalau bulan Romadlon sehari sampai 3 atau 5 juz, berarti 3 atau 5 kali khatam. Kata ustadznya, makin cepat khatam makin sering pula diulang. Kalau sering diulang makin banyak yang dihafal dan difahami. “Ya Allah, kapan aku bisa seperti itu?”, Pak Bakri mendesah.
Entah mengapa sore itu ingatannya tidak bisa lepas dari Ustadz Sobar, guru pengajian rutin di kampungnya. Ustadznya yang memang terkenal sabar itu sering menasehati, ”Bapak-bapak kalau ingin selamat hidup kita harus selalu mengikuti apa yang diperintahkan Allah. Jangan mengikuti apa kata kita sendiri atau apa kata masyarakat. Juga yang dilarang Allah harus betul-betul kita jauhi”. “Ya Allah, berilah aku petunjuk agar aku berada di jalan yang Kau ridloi. Ya Allah, berilah aku keluarga yang dapat menjadikan ketentraman dalam hatiku. Tempat aku mencurahkan seluruh kasih sayangku. Dimana Engkau menurunkan rohmat-Mu kepada kami”, tanpa terasa do’a lirih meluncur dari mulutnya.
Ingatannya beralih pada peristiwa ketika Ustadz Sobar membacakan do’a di acara akad nikah tetangganya. Walaupun do’anya dalam bahasa Arab dia cukup mengerti artinya, yaitu, ”Ya Allah, anugerahilah mempelai ini keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Pertautkanlah hati mereka sebagaimana Engkau mempertautkan hati Nabi Adam dan Siti Hawa, Nabi Yusuf dan Siti Zulaikho, Nabi Muhammad dan Siti Khodijah, serta Sayyidina Ali dan Siti Fatimah”. Do’a itu pula yang dibacakan pada perkawinannya 21 tahun yang lalu. “Yaa Allah, bagaimana mungkin aku yang sering menggerutu dan mengeluhkan gajiku kepada semua teman-temanku. Aku yang kasar kepada istri dan anak-anakku. Aku yang tidak pandai bersyukur. Dapat membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah”, pengaduannya mengalir kepada Allah. Sesak terasa dadanya. Dicobanya menarik nafas panjang, sambil memasrahkan seluruhnya kepada Allah, “Ya Allah, sungguh aku telah dzolim pada diriku sendiri. Kalau bukan karena ampunan dan rohmat-Mu, sungguh aku akan menjadi hamba yang merugi”.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Suara piring yang diletakkan di meja terdengar khas di telinga Pak Bakri. Sesekali suara sendok dan piring atau sendok dengan sendok terdengar. Istrinya mulai menyiapkan hidangan buka. Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah istrinya bertanya, “Bukaannya pakai apa, Mas?”. Terdengar manis dan sejuk sekali di hati Pak Bakri. Entah mengapa, sejak menangis pada malam kedua Romadlon, dia merasa rumahnya lebih lega. Jarak 1,5 m dari pintu kamar ke meja makan, yang sering membuatnya tersandung kursi, sepertinya menjadi lebih luas. Di hari pertama perjalanan ke sekolah tadi pagi, seolah semua orang tersenyum padanya. Di sekolah pun semua orang menyalami dan mengucapkan selamat puasa. Dengan kuat dipegangnya satu-satu tangan temannya, dan keluar dari mulutnya, “Maaf ya, maaf ya”, berkali-kali. “Ya Allah, dunia terasa menerimaku lagi. Mungkinkah Engkau juga menerimaku lagi? Aku akan bangun kembali puing-puing keluargaku menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah”.
“Ayah! Jangan nglamun aja. Udah mau buka”, tiba-tiba istri Pak Bakri sudah berada di sampingnya. Setengah terkejut tiba-tiba Pak Bakri memeluk erat istrinya. “Maafkan Bapak, Bu. Maafkan Bapak, Bu”, ujarnya tanpa bisa menahan air matanya yang jatuh. Istrinya yang masih bingung berusaha melepaskan pelukan Pak Bakri, “Kenapa sih Ayah ini. Ayo kita buka bersama. Itu, Hasanah sama Nurul juga sudah siap di meja”.
Istri Pak Bakri memandang suaminya dengan iba, “Ayah sakit bukan?”, tanyanya khawatir. Hari-hari terakhir ini sepertinya suaminya agak lemas dan sering termenung sendiri. Dia pikir ini karena awal puasa. Dilihatnya Pak Bakri banyak sholat sunnah, lebih dari biasanya. Seingatnya Romadlon yang lalu dia selalu bangun lebih dulu untuk menyiapkan makan sahur bersama Hasanah, anak pertamanya. Kali ini tiap dia bangun jam 03.00 suaminya sudah ada di atas sajadah. Sungguh bahagia hati Bu Bakri, walaupun agak bertanya-tanya, tidak biasanya suaminya begitu.
Ketika berbuka Pak Bakri tidak terlalu banyak bicara. Istrinya masih saja khawatir. Tapi tidak berani bertanya. Dia ingat watak Pak Bakri yang mudah marah. Anak-anaknya pun tidak berani bicara. Mereka sering juga menerima kata-kata kasar ayahnya. Walaupun sedih dan kadang-kadang kesal, mereka berdua sayang kepada ayahnya. “Sebenarnya Ayah itu baik, Nur”, begitu Hasanah sering menghibur adiknya. “Hanya saja Ayah tidak tahan, barang-barang sekarang serba mahal”, tambahnya. “Iya, tapi kan tidak harus begitu, Kak. Masa Ayah marah cuma gara-gara Nurul telat pulang. Harusnya Ayah tanya dulu. Kan Nurul belajar kelompok dulu tadi”, keluh Nurul suatu kali.
Selesai berbuka langsung Pak Bakri mengajak istri dan anak-anaknya sholat maghrib berjama’ah. Setelah sholat sunnah dan berdo’a Pak Bakri berkata, “Nanti setelah tarawih kita kumpul lagi ya. Ada yang mau Ayah bicarakan”. “Iya Yah, biasanya juga kumpul, cuma Ayah kan langsung tidur”, ujar Bu Bakri. “Iya, lagian kita nggak pernah keluar malam-malam, Yah. Ayah aneh banget deh”, kata Hasanah terheran-heran.
Sepulang sholat tarawih di masjid, mereka berkumpul di ruang makan, ruang terbesar di rumah mereka yang berukuran 7x10 m2 itu. Pak Bakri langsung membuka pembicaraan, “Ayah mau terus-terang. Ayah minta maaf kepada kalian bertiga. Sangat berat bagi Ayah untuk bicara seperti ini. Tapi Romadlon ini terasa lain buat Ayah. Umur Ayah sudah 48 tahun. Hasanah sudah 20 tahun dan Nurul 17 tahun. Ayah merasa selama ini tidak pernah membahagiakan kalian”. Suasana hening. Hasanah menunduk. Nurul langsung memegang tangan Ibunya. Bu Bakri tidak bisa menahan khawatirnya, “Ayah kenapa. Ayah sakit?”.
“Tidak, Ayah tidak sakit, Bu”, jawab Pak Bakri. “Ayah ingin mengubah keluarga kita. Mungkin orang mengatakan sudah terlambat. Tapi Ayah yakin Allah tidak pernah memandang terlambat hambanya yang akan memperbaiki diri. Ayah yakin Allah akan menolong kita”. “Maksud Ayah bagaimana? Keluarga kita kan baik-baik saja?”, tanya istrinya masih belum mengerti. “Tidak, Bu. Semua salah Ayah. Ayah merasa telah gagal memimpin keluarga. Ayah yang seharusnya menjaga diri Ayah dan kalian semua dari siksa api neraka, malah menggiring diri Ayah sendiri dan kalian masuk ke dalamnya”, jawab Pak Bakri tegas. “Jadi bagaimana, Ayah. Ibu masih belum mengerti”, Bu Bakri mulai mendesak suaminya. “Walaupun terlambat Ayah betul-betul ingin mewujudkan do’a Ajengan yang dulu mendo’akan perkawinan kita, Bu. Yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah”, jelas Pak Bakri.
“Ayah, memang keluarga kita belum sakinah, mawaddah wa rohmah?”, tanya Hasanah memberanikan diri. “Belum, sayang. Lihat, coba perhatikan. Apa kalian tidak merasakan betapa kakunya Ayah menyebut kamu sayang”, jawab Pak Bakri sambil menatap Hasanah. “Iya sih. Tapi kan nggak masalah, Ayah. Ayah aneh, begitu saja sampai harus rapat segala”, ujar Hasanah lagi. “Bukan begitu, sayang. Ayah menganggap ini masalah yang serius. Ungkapan dan panggilan itu mencerminkan apa yang di dalam hati. Ingat kan, bagaimana Rasulullah SAW memanggil Siti Aisyah dengan Humairoh (Cantik) dan Siti Fatimah dengan Zahro (Bunga)?”.
Suasana hening kembali menyelimuti ruang makan yang merangkap ruang tengah itu. TV 21 inchi duduk terdiam di atas meja, di sebelah pintu kamar. Sofa coklat sederhana hanya berjarak 3m di depan TV. Dapur kecil ada di seberang kamar agak ke belakang. Di dinding pemisah ruang tengah dan dapur ada komputer model lama berdesak-desakan dengan sofa. Pak Bakri menarik nafas panjang, “Kita harus bisa mengubah keluarga kita dari keluarga penggerutu dan pengeluh menjadi keluarga yang bersyukur dan bersemangat”, desahnya mencoba antusias. “Keluarga Ayah hanya kalian. Kalian lah permata hati Ayah. Ayah ingin berkumpul bersama kalian di dunia dengan penuh rasa damai, saling menyayangi, dan saling menghargai”.
Tangan Nurul semakin kencang menggenggam jari-jari ibunya. Hasanah makin tertunduk. Bu Bakri bergetar hatinya, menatap tajam mata suaminya. “Dan Ayah ingin berkumpul lagi bersama kalian di akhirat dalam keridloan Allah SWT,” kata Pak Bakri lirih. Tak tahan, air mata mengalir di ujung matanya. Hasanah langsung memeluk Ayahnya. Tangisnya tidak dapat dibendung lagi. Tangis yang lama sekali dirindukannya. “Yaa Allah, jangan Kau ambil lagi ni’mat kami malam hari ini. Bahkan berkenanlah Kau tambah lagi ni’mat ini di hari esok”, Hasanah makin mempererat pelukannya seakan tak mau melepaskannya. Nurul sedari tadi sudah menangis di dada ibunya. Dipeluknya anak bungsunya. Perlahan mengalir do’a yang sering diajarkan Ustadz Sobar di pengajian, “Ya Robbi, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada Ibu-Bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal soleh yang Engkau ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

MUTIARA HIKMAH :
1. Niat adalah kemauan yang kuat disertai amal untuk mencapainya
2. Niat harus disandarkan pada kerangka ibadah dan keridloan Allah SWT
3. Niat harus dinyatakan dan dijelaskan langkah-langkahnya

Tidak ada komentar: