Jumat, 26 Oktober 2007

PENYAKIT YANG MENGHAMBAT PERJALANAN

Renungan Hari Ke-13

PENYAKIT YANG MENGHAMBAT PERJALANAN
KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH WA ROHMAH


Allah SWT berfirman (QS 7:172) yang artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’. Mereka menjawab :’Betul, kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :’Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) ”

Alkisah seorang Raja Diraja di satu negri yang super makmur. Kekuasaannya meliputi seluruh alam jagad raya. Bangsa manusia, jin dan binatang semua tunduk padanya. Suatu hari dikumpulkanlah bangsa manusia di satu tanah lapang yang super luas. Mereka diminta untuk pergi ke wilayah yang belum pernah mereka rambah. “Pergilah ke wilayah baru itu. Kalian akan diberi bekal yang sangat cukup. Hidup, berketurunan dan kembangkanlah diri kalian. Setiap berhasil mengembangkan diri, kalian harus mengirim sebagian hasilnya kepadaku. Aku tidak butuh hasil kalian. Tapi pengakuan kalian kepadaku adalah cara penilaianku kepada kalian. Barang siapa yang tetap setia akan aku beri hadiah yang belum pernah kalian rasakan ni’matnya. Yang tidak setia kepadaku akan aku masukkan ke ruang penyiksaan. Kalian jangan menipuku, karena aku mengutus mata-mata. Waktu kalian adalah 70 tahun. Sekarang pergilah kalian”, begitulah pidato pelepasan dari sang Raja Diraja. Tanpa dapat membantah bertebaranlah bangsa manusia itu ke wilayah yang telah ditetapkan. Maka berkembanglah mereka sesuai kemampuan yang mereka miliki.
Tersebutlah seorang bernama Hambu. Orang yang kuat namun sederhana. Dia berusaha dengan seluruh kekuatannya tapi hasil tidak seberapa. Setiap mendapat hasil selalu dikirim sebagiannya kepada Raja Diraja. Terkenallah nama Hambu sebagai orang yang sederhana dan setia. Suatu saat dia menikah dan berumah tangga. Lahirlah anak pertamanya dan diberi nama Ama. Hidupnya masih sederhana dan setia. Sampailah ia dikaruniai anak kedua yang bernama Harlah. Anak yang membawa keberuntungan. Karena mendadak harta Hambu berlimpah. Usahanya merambah seantero wilayah. Mulailah Hambu lupa. Setiap masanya berkirim kepada Raja Diraja, dia selalu berkilah, “Nantilah saja”. Sementara pundi-pundinya berjajar. Mewakili dirinya yang mulai pongah. Bangga pada dirinya. Lupa pada sang Raja Diraja.
Sayangnya pada Harlah, anak pembawa untung, tak terbilang. Diabaikanlah anak pertamanya, si Ama. Lalu lahir pula anak ketiga, bernama Anis. Pundi-pundinya makin tumpah ruah. Janji-janjinya untuk berkirim kepada Raja Diraja sirnalah sudah. Si Ama makin telantar. “Anak sial”, kutuk Hambu. Apa saja yang diminta Harlah dan Anis seketika tersedia. Sementara Ama tak dilihat sebelah mata.
Masa 70 tahun sampailah sudah. Betapa darah Hambu terkesiap. Dia merasa belum siap. Sementara tentara penjemput telah bergerak. Siap membawa Hambu walau dengan paksa. Hambu menggapai Harlah, anak kesayangannya, untuk ikut serta. “Ayah aku tak bisa”, begitu jawab Harlah. Ketika menengok ke Anis. Jawabnya pun sama, “Ayah aku tak bisa ikut serta”. Perlahan matanya beralih kepada Ama. Ternyata Ama telah berkemas. Siap disamping Hambu untuk ikur serta. Berangkatlah tentara dengan membawa Hambu beserta Ama di sampingnya.
Sesampai di depan Raja Diraja, Hambu tak mampu bercerita. Mulutnya terkunci lidahnya terbelenggu. Ama di sampingnya dengan fasih berkisah tentang ayahnya. Tak ada satu detak yang terlewat. Ama ternyata adalah ‘amal’ yang dikirim Raja Diraja. Mendampingi Hambu untuk melihat kesetiaannya. Harlah adalah ‘harta’ amanah dari Raja. Hanya diam tak mampu bercerita. Anis juga titipan Sang Raja, yaitu anak dan istri. Apalah yang mampu dikatakan mereka manakala Hambu mengingkari sang Raja Diraja. Akhir kisah masuklah Hambu ke ruang penyiksaan. Karena janji yang diingkarinya.
Dari kisah di atas kita dapat mengambil hikmah darinya. Bahwa apa yang menyebabkan Hambu berakhir di ruang siksa adalah kepongahan. Kesombongan dan kebanggaan pada diri sendiri. Lupa pada perjanjian awal. Bahwa ia telah mengikat janji setia kepada Raja Diraja. Bahwa ia harus beramal-soleh sebagai ungkapan rasa syukur. Bukan beramal-tholeh (jelek) karena akan kufur. Orang yang sombong ini adalah sebagaimana firman Allah SWT (QS 74:23) yang artinya, “Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri”. Sifat sombong ini adalah sifat iblis (QS 2:34) dan Fir’aun (QS 28:39). Inilah penyakit manusia dan penyakit keluarga yang utama. Ulama mengatakan bahwa penyebab tergelincirnya manusia ada dua, yaitu : sombong dan bodoh. Jika penyebabnya kebodohan, masih bisa diperbaiki. Yaitu dengan diberi nasehat dan informasi yang benar. Maka dia akan mengerti dan memperbaiki diri. Tetapi kesombongan adalah penyakit yang susah diobati. Karena orang yang sombong bukan tidak tahu atau tidak berilmu. Tetapi dia merasa lebih kaya. Lebih berkuasa. Lebih terhormat. Lebih baik. Lebih soleh. Lebih suci. Lebih segala-galanya. Sehingga nasehat akan mental jika disampaikan pada orang sombong.
Penyakit kedua adalah ‘tidak mau bersyukur”. Allah SWT berfirman (QS 7:10) yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di muka bumi dan Kami jadikan bagi kalian di muka bumi itu sumber penghidupan. Amat sedikitlah kalian bersyukur”. Orang yang tidak bersyukur berarti tidak mau menerima bahwa apa pun yang dimiliki, yang melekat, yang dipergunakan, yang menjadi, yang dini’mati dirinya semuanya adalah pemberian Allah SWT. Jika dia tidak mengerti dan tidak menerima bahwa semua ini dari Allah SWT bagaimana mungkin dia akan beribadah kepada Allah?
Penyakit ketiga adalah ‘berkeluh kesah’. Allah SWT berfirman (QS 70:20) yang artinya, “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah”. Allah SWT memerintahkan jika terkena musibah harus bersabar sebagaimana firman-Nya (QS 11:11) yang artinya, “Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana) dan mengerjakan amal soleh, mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar”. Karena orang yang sabar itu mengerti dan menerima bahwa bencana dan kesusahan itu datangnya dari Allah SWT. Maka penerimaannya itu menjadi ibadah baginya. Orang yang berkeluh-kesah berarti tidak mengerti dan tidak menerima bahwa bencana dan kesusahan itu dari Allah SWT. Maka penolakannya itu menjadi dosa baginya.
Penyakit keempat adalah ‘melampaui batas’. Allah SWT berfirman (QS 96:6-7) yang artinya, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup”. Orang atau keluarga yang melampaui batas ini adalah keluarga yang tidak mau meningkatkan ibadahnya. Untuk mengejar karir maka seorang Ayah, bahkan Ibu, bersedia mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu yang sangat besar untuk pendidikannya. Bila mampu dia akan menyelesaikan pendidikan sampai S3. Bahkan ditambah dengan kursus dan pelatihan. Kalau perlu di luar negri. Sementara untuk pendidikan ilmu aqidah, fiqih, akhlaq dan ilmu membaca Al-Qur’an dia enggan mengeluarkannya. Sehingga tidak jarang kita jumpai seorang muslim yang berpendidikan amat sangat tinggi, tetapi tidak lancar atau bahkan tidak bisa membaca Al-Qur’an. Dalam hal ini bukan dimaksudkan melarang untuk mencapai S3 bahkan lebih. Tetapi pencapaian S3 nya itu harus diimbangi dengan pencapaian ibadah, misalkan kelancaran dalam membaca dan mengartikan Al-Qur’an. Jika perlu berusaha pula untuk hafal Al-Qur’an. Mengapa tidak? Bukan karena tidak mampu. Tetapi dia merasa bahwa untuk urusan agamanya dia sudah merasa cukup dengan ilmu dan amal yang ada.
Penyakit yang disebutkan di atas adalah penyakit pokok yang melanda keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Dampaknya adalah menurunnya perhatian generasi muda terhadap disiplin ibadah kepada Allah SWT. Anak muda sekarang umumnya berani meninggalkan sholat wajib tanpa ada perasaan bersalah. Ternyata kasus ini banyak terjadi pada keluarga yang orang tuanya hanya melaksanakan sholat wajib saja tanpa sholat sunnah ba’diyah dan qobliyah. Kasus lain, banyak anak keluarga muslim yang tidak bisa membaca Al-Qur’an. Hal ini terjadi pada keluarga yang orang tuanya tidak lancar membaca Al-Qur’an. Penurunan kualitas ibadah akan terus terjadi dari generasi ke generasi jika perhatian orang tua pada ilmu, amal serta disiplin ibadah tidak memadai. Jika penyakit ini tidak segera diobati, maka dalam dua generasi mendatang akan semakin banyak keluarga muslim yang hanya menyandang sebutan muslim saja, tetapi asing terhadap syariatnya. Na’udzubillah.

MUTIARA HIKMAH :
1. Kriteria utama keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah adalah kemampuannya mengikatkan diri dalam ikatan aqidah kepada Allah SWT dalam seluruh kehidupannya
2. Dengan ikatan aqidah ini maka manusia akan pandai bersyukur, bersabar dan tidak melampaui batas.
3. Perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk mengobati empat penyakit keluarga muslim tersebut sehingga dapat tercapai keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah sebenar-benarnya

Read More......

Rabu, 24 Oktober 2007

LANGKAH-LANGKAH MENUJU MAGHFIROH ALLAH SWT

Renungan Hari Ke-12

LANGKAH-LANGKAH MENUJU MAGHFIROH ALLAH SWT

Allah SWT berfirman yang artinya :
“Katakanlah : ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rohmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS 39:53)
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”. (QS 3:135-136)

Rasulullah SAW bersabda :
“Ikutilah perbuatan kejahatan dengan perbuatan kebaikan maka perbuatan baik ini akan menghapus dosa kejahatan. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlaq yang baik”

Di pengajian sebelum tarawih malam ke-12 Ustadz Sobar bercerita, “Ada seorang Bapak mengajak anak perempuannya, yang berumur 6 tahun, ziarah ke makam neneknya. Saat itu menjelang Romadhon. Setelah membersihkan sekitar makam si Bapak mengajak anaknya berdo’a. Tiba-tiba anaknya bertanya, ‘Bapak, Bapak. Nenek waktu meninggal umurnya 37 tahun ya?’. ‘Iya, kok Ade tahu?’ kata si Bapak. ‘Itu di nisan ada tulisan lahir tahun 1930 – meninggal tahun 1967’, jawab anaknya sambil jarinya mengusap nisan nenek. ‘Alhamdulillah, anak pinter. Yo, kita berdo’a untuk nenek’, kata si Bapak lagi. ‘Bapak, Bapak. Nenek di dalam kuburan sudah 40 tahun ya?’, tanya anaknya lagi. ‘Ade tahu dari mana?’, tanya si Bapak penasaran. ‘Kan sekarang tahun 2007, dan nenek meninggal tahun 1967’, jawab anaknya. Bapaknya tidak bisa menahan kagumnya, ‘Aduh, anak pinter. Sekarang kita berdo’a, yok’.
Maka berdo’alah si Bapak memohon agar dosa-dosa nenek diampuni oleh Allah dan amalnya diterima. Anaknya mengamini sambil menengadahkan tangannya yang mungil. Tiba-tiba anaknya berkata, ‘Kalau nenek berdosa berarti 40 tahun nenek disiksa di dalam kubur’. Sambil terkejut si Bapak langsung memotong, ‘De, nenek orang yang solehah. Insya Allah, mendapat kebahagiaan di alam kubur’. Anaknya langsung diam dan kembali berkata, ‘Amin ... Amin ... Amin”
Pak Bakri menyimak dengan baik pesan yang disampaikan oleh Ustadz Sobar. Dia langsung menerawang. Umurnya sekarang 48 tahun. Kalau dia meninggal 70 tahun, berarti sisa umurnya tinggal 22 tahun. Itulah waktunya di dunia. Lalu dia akan mati. Berapa lama dia di alam kubur? Kalau kiamat 100 tahun lagi, maka di dalam kuburnya 100 tahun. Bagaimana kalau 500 tahun lagi kiamatnya? Dia akan di dalam kubur selama 500. Kalau 1000 tahun lagi? Kalau 2000 tahun lagi? “Ya Allah, belum di akhirat, masih di dalam kubur yang wujudnya bisa aku lihat di dunia ini, aku sudah tidak bisa menghitung berapa lama aku akan tinggal di dalamnya. Sedang hidup di dunia ini aku masih bisa menghitung umurku. Dan bagaimana pula nasibku di dalam kubur nanti?”, Pak Bakri merenung dan menundukkan wajahnya. Air mata menetes di pipinya.
Manusia sering tidak sadar. Merasa bahwa dia akan hidup di dunia selamanya. Padahal dia faham betul sangat sedikit di dunia ini orang yang berumur lebih dari 80 tahun. Itu pun sudah sangat repot. Sedikit lebih banyak yang berumur antara 70 – 80 tahun. Kebanyakan antara 60 – 70 tahun. Berapa lama lagi sisa umur kita? Kalaulah sisa umur kita masih 60 tahun lagi. Setelah itu? Kita akan masuk lubang kubur. Selesaikah urusannya? Tidak! Kita akan dihidupkan lagi. Merasakan rasa derita jika disiksa. Dan merasakan rasa bahagia jika diberi pahala. Akankah kita mengatakan, “Ah, itu mah urusan nanti saja di dalam kubur. Yang penting kan sekarang”. Tidak ada yang dapat melarang kita untuk mengatakannya. Tetapi siapkah kita menghadapi segala konsekuensinya di dalam kubur? Konsekuensi yang kita dipaksa dan harus merasakannya. Sebagaimana kita juga dipaksa dan harus masuk ke dalam kubur. Seberapa kuatnya pun kita berusaha untuk tidak masuk ke dalamnya.
Sungguh, orang yang memahami keadaan di dalam kubur dan mempersiapkan diri untuk tinggal di dalamnya adalah orang yang mendapat rohmat Allah SWT. Sebaliknya orang yang meremehkan keadaan di dalam kubur, dan karenanya meremehkan pula persiapan untuk menghadapinya adalah orang yang tertutup hatinya dari rohmat Allah SWT. Apa yang menutup hatinya itu? Apa yang menghalangi cahaya rohmat Allah sampai ke dalam hatinya? Tidak lain adalah kabut dosa yang menggumpal dan membentuk dinding penyekat di dalam hatinya. Sungguh beruntung orang yang dapat membersihkan kabut penyekat itu dari dalam hatinya. Sungguh merugi orang yang membiarkannya menjadi semakin pekat. Allah SWT berfirman (QS 91:9-10) yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Mari kita cermati dan perhatikan gerak-gerik hati kita. Jika, saat ini, kita sudah merasa bahwa semua perbuatan kita akan berakibat di alam kubur. Maka itu adalah satu langkah awal yang bagus untuk bertaubat mensucikan jiwa dari kabut penyekat sepekat apa pun. Langkah kedua, kita memohon pertolongan Allah SWT agar mengetahui perbuatan mana yang telah mendatangkan kabut tebal itu di hati kita. Ketika kita berpaling kepada Allah, mohon pertolongan-Nya, sebenarnya kita sedang menghadapkan hati kita ke arah sumber cahaya rohmat-Nya. Buahnya, Allah SWT akan menolong kita untuk mengetahui dan menyadari semua perbuatan yang lalu, yang menyebabkan kabut penyekat muncul di dalam hati kita bahkan mempertebalnya.
Langkah ketiga, bayangkan dan nyatakan dengan tegas kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa kita itu. Mulai dari yang paling dulu sampai yang terakhir. Mulailah dari yang paling besar akhiri dengan yang paling kecil. Mulailah dengan dosa kita kepada Allah, seperti kesalahan dalam masalah tauhid, lalai dalam sholat, puasa, zakat dan sebagainya. Lalu dosa dzolim pada diri sendiri seperti minum minuman keras, berjudi, tidak lancar tadarus Al-Qur’an dan sebagainya. Dan dosa kepada orang lain. Kepada Ibu, kepada Bapak, kepada saudara kandung, kepada kerabat, kepada tetangga, kepada teman kantor dan seterusnya. Satu persatu bayangkan dan nyatakanlah dengan tegas di malam hari yang tiada seorang pun yang tahu kecuali diri kita dan Allah SWT. Mohonlah ampunan Allah, karena tiada lagi yang memberikan ampunan melainkan Allah SWT.
Langkah keempat. Malam ini juga, saat ini juga, bertekadlah, “Ya Allah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak akan mengulanginya lagi”. Kita bertekad, kita berazam, tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu sama sekali. Kita tobat. Kita minta ampun. Kita yang lemah ini tidak akan tahan menerima siksa kubur. Siksa Allah terlalu berat buat kita. Kita terlalu lemah untuk menanggung siksa Allah SWT. Kita tidak akan mengulanginya. Kita tidak akan kembali atau melihat tempat itu lagi. Kita tidak mau bergaul dengan orang yang menyebabkan kita melakukannya. Kita membenci semua hal yang dapat mendorong perbuatan itu lagi. Tobat ya Allah. Ampun ya Allah.
Dengan langkah keempat ini, insya Allah, dosa kita kepada Allah dan dosa dzolim atas diri sendiri diampuni, dihapuskan dan dihilangkan sama sekali bekas-bekasnya dalam diri kita. Amin. Yang tersisa adalah dosa kita kepada orang lain, terutama kepada Ibu dan Ayah kita. Dosa yang bisa diampuni hanya jika kita meminta maafnya, meminta ridhonya dan meminta keikhlasannya. Dengan jawaban pernyataan yang tegas bahwa beliau telah memaafkan, telah ridho dan telah ikhlas kepada kita. Jika tidak bisa, maka lakukanlah perbuatan kebaikan yang lebih besar atau sama besarnya dengan dosa yang kita perbuat. Banyak-banyaklah sedekah. Perbanyaklah ibadah sunnah. Seringlah menolong dan meringankan beban orang lain. Bekerjalah dengan sempurna. Kita niatkan pahala ganjarannya untuk Ibu, untuk Ayah, dan untuk siapa pun yang kita ambil haknya atau kita sakiti hatinya. Mudah-mudahan Allah SWT berkenan menerimanya. Amin Ya Allah Ya Robbal ‘Alamin.

MUTIARA HIKMAH :
1. Semua perbuatan kita akan berakibat di alam kubur dan di akhirat adalah haq (benar, nyata)
2. Menerima derita di dunia kita sudah tidak tahan. Derita siksa di alam kubur dan di akhirat amat sangat beratnya. Diri kita yang lemah tidak akan mampu menanggungnya
3. Segeralah bertaubat memohon maghfiroh Allah dan memohon rohmat-Nya
4. Segeralah melakukan langkah-langkah : a. Sadarilah perbuatan dosa kita berakibat buruk di dunia, di alam kubur dan di akhirat; b. Menyadari dan menyesali semua kesalahan dan perbuatan dosa kita; c. Menyatakan seluruh kesalahan dan dosa itu di hadapan Allah SWT dan memohon ampunan-Nya; d. Bertekadlah untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu sampai mati; e. Meminta maaf dan ridho jika dosa kita menyangkut dengan orang lain, jika tidak bisa lakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya pahalanya untuk orang tersebut.

Read More......

Minggu, 21 Oktober 2007

Jika Ingin Sukses Bersegeralah Menuju Maghrifoh Allah SWT

Renungan Hari Ke-11

JIKA INGIN SUKSES BERSEGERALAH
MENUJU MAGHFIROH ALLAH SWT
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman (QS 3:133) yang artinya :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”

Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Hai manusia bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya saya bertobat seratus kali setiap hari”

Pernahkah anda naik mobil? Saya yakin pernah. Sebagian bisa menyupir sendiri, sebagian hanya ikut saja. Pernahkah mengalami ketika sudah siap berangkat, transmisi sudah masuk gigi satu, gas pun diinjak, ternyata rem tangan belum dilepas? Bagaimana rasanya? Orang yang perasaannya sensitif akan terkejut, berteriak dan mungkin menggigit bibirnya. Pemilik mobil yang mengerti mesin dan mekanisme mobil akan tersentak dan terbayang kerusakan beberapa komponen. Kalau dia sendiri yang menyupir, dia hanya bisa menyesali berkepanjangan. Jika supir yang melakukannya, bisa jadi dampratan panjang yang keluar. Ada lagi pemilik yang terkejut sebentar, kemudian tenang lagi. Saya yakin pemilik ini tidak mengerti mekanisme kerja mobil. Atau mungkin dia terlalu kaya hanya untuk mengurusi kerusakan pada rem. Ada pula supir yang walaupun mengerti mekanisme mobil dia santai saja. Supir ini pasti sedang sendiri, dia pikir ini bukan mobilnya dan tidak ada pemiliknya yang melihat.
Gas berarti laju kecepatan ibadah kita menuju ridho Allah SWT. Rem tangan ibarat dosa yang menghambat laju ibadah. Bagaimana mungkin bisa berangkat ibadah, apalagi melaju dengan kencang, jika dosa masih melekat dan belum bertobat kepada Allah? Jadi dosa menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah. Al-Imam Al-Ghozali dalam Kitab Minhajul Abidin menjelaskan bahwa dosa menghalangi ibadah pada dua tempat, yaitu : taufiq - hidayah dan diqobulnya ibadah. Taufiq dan hidayah dibutuhkan oleh manusia untuk mengerti bahwa dia harus beribadah kepada Allah, kemudian mau beribadah, mengerti jalan-jalannya, mau mengambil jalan yang terbaik, dan sangat berharap agar ibadahnya diterima. Karena setelah beribadah belum tentu diterima oleh Allah. Dosa yang masih melekat dan belum ditaubati akan menutup jalan diterimanya ibadah itu.
Malam ini malam kesebelas. Pak Bakri menyimak dengan baik pengajian Ustadz Sobar yang disampaikan sebelum tarawih. “Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT kita memasuki puluhan kedua Romadhon, yaitu puluhan maghfiroh Allah SWT. Allah SWT meluaskan maghfiroh-Nya seluas-luasnya. Barang siapa bertaubat dan memohon ampun kepada Allah pasti diterima taubatnya. Oleh karena itu bersegeralah menuju maghfiroh Allah dan menuju surganya yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.
Tak terasa bayangan pikiran Pak Bakri sampai pada peristiwa sholat yang sering ditundanya sambil tidak berjama’ah. Satu dua orang teman guru mengajaknya untuk sholat dzuhur berjama’ah di masjid sekolah tapi dia lebih memilih duduk di kantor sambil ngobrol atau sekedar meluruskan kaki. “Ya Allah, mengapa aku begitu. Sepertinya ada hawa yang menahanku untuk tidak sholat berjama’ah”. Pak Bakri tidak sadar bahwa ada kabut dosa yang menghalanginya. Dosa ‘emosional dan ringan tangan’ di rumah. Kabut dosa ini mengalir masuk ke dalam hatinya. Menyekat cahaya niat yang memancar untuk menyentuh tombol energi sholat. Jika beruntung cahaya niat ini cukup kuat menembus kabut penyekat. Masih cukup lurus untuk sampai ke tombol pengaktif energi sholat. Tentu dengan intensitas cahaya tidak sebesar jika tidak ada kabut penyekat. Jika cukup kuat untuk mengaktifkannya, maka Pak Bakri akan sholat dengan ogah-ogahan. Jika tidak cukup kuat maka dia akan menunda sholatnya.
Apakah Pak Bakri tidak mendapat hidayah dari Allah SWT untuk sholat dzuhur berjama’ah pada awal waktu? Dalam satu pengajian Pak Bakri pernah mendengar Ustadznya menyampaikan hadits Rasulullah SAW (HR Muslim) yang artinya, “Seandainya kalian melaksanakan sholat di rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi, pasti kalian sesat. Aku benar-benar melihat di antara kita tidak ada yang meninggalkan sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafik yang benar-benar munafik. Sungguh pernah terjadi seorang laki-laki diantar ke masjid, ia terhuyung-huyung di antara dua orang, sampai ia diberdirikan dalam shaf”. Sampainya hadits ini kepada Pak Bakri adalah wujud cahaya hidayah Allah SWT. Hidayah Allah SWT senantiasa sampai kepada hambanya dalam wujud Al-Qur’an, Al-Hadits dan tanda-tanda kebesaran Allah lainnya. Jika kemudian Pak Bakri tetap tidak melaksanakan perintah dalam hadits itu, maka yakinlah ada kabut dosa yang membentuk sekat penghalang antara cahaya hidayah dengan hatinya. Allah SWT berfirman (QS 4:79) yang artinya, “Apa saja bentuk bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari kesalahanmu sendiri”. Juga tidak bisa menimpakan kesalahan kepada setan atau siapa pun, sebagaimana firman Allah SWT (QS 14:22) bahwa syaitan berkata yang artinya, “Maka janganlah engkau menyalahkan kepadaku, tetapi salahkanlah dirimu sendiri”.
Akhirnya Pak Bakri melaksanakan sholat dzuhur pukul 13.00. Ketika sholat Pak Bakri berusaha untuk khusyu’. Cahaya khusyu’ yang aktif memancar lurus siap menyentuh tombol energi penghubung ibadah sholat dengan niat akhiratnya. Tiba-tiba merambat masuk kabut “makanan haram”. Membentuk sekat penghambat sampainya cahaya khusyu’ ke tombol energi penghubung di dalam hatinya. Cahaya khusyu’ masih mampu menembusnya. Tapi sinarnya sudah tidak sempurna lagi. Kadang-kadang sampai kadang-kadang tidak. Ketika cahaya ini sampai dia khusyu’. Ketika tidak sampai pikirannya pun menjadi liar. Bayangan-bayangan pengalaman yang tidak layak tiba-tiba muncul di tengah sholatnya. Semakin berusaha dihilangkan semakin banyak yang datang. Silih berganti tak terkendali.
Di suatu pertemuan di kampungnya Pak Bakri mendengar obrolan antar tetangga, “Heran, setiap sholat dari awal silih berganti bayang-bayang peristiwa dalam pikiranku. Mulai dari perjalanan di tol, loncat ke si fulan yang tertawa terbahak-bahak, sapu yang tergeletak di dapur, hutang yang belum dibayar, terus dan terus sampai akhir sholat. Bagaimana ya?”. Tetangganya yang lain dengan tertawa menjawab, “Ah biasa, aku juga begitu. Setiap aku lupa menyimpan sesuatu, sewaktu sholat langsung terbayang lagi tempat aku menyimpannya tadi. Ha – ha – ha”. Pembicaraan seperti ini menjadi topik yang sangat biasa di kalangan kebanyakan umat Islam. Bahkan di seluruh dunia. Karena sangat biasa maka tertanamlah dalam pola pikirnya bahwa keadaan sholat seperti itu adalah sesuatu yang wajar. Tidak pernah terlintas sedikit pun ada orang yang mampu khusyu’ sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT (QS 23:2). Jika pun ada dianggapnya mitos para wali dahulu, yang tidaklah mungkin dicapai olehnya. Sesungguhnyalah yang menghalanginya untuk khusyu’ adalah dosa yang masih melekat yang membantuk kabut di hatinya.
Kabut dosa menghalangi sampainya taufiq-hidayah ke dalam diri seseorang. Taufiq-hidayah senantiasa memancar dari Allah Ar-Rohman Ar-Rohim. Memancar bersama rohmat lain yang bersifat universal (rohmatan lil ‘alamin). Kabut dosa “musyrik” membentuk sekat hitam yang tebal dan kuat yang mencegah seluruh cahaya taufiq-hidayah. Pemilik kabut dosa ini akan menjadi kufur. Na’udzubillah. Dia tidak mengerti bahwa harus beribadah kepada Allah SWT. Dia berkata, “Saya beribadah dan punya tuhan juga. Tapi namanya bukan Allah SWT. Dan apa bedanya? Yang penting hati dan keyakinan saya mengatakan begitu. Tuhan inilah yang menciptakan saya dan harus saya ibadahi”. Orang seperti ini termasuk kafir (QS 23:117) dan akan mendapat adzab Allah (QS 26:213). Karena Hidayah Allah SWT dalam bentuk Al-Qur’an, Al-Hadits dan ayat-ayat Allah lainnya terpampang jelas di hadapannya, tapi dia tidak mau memandangnya.
Pak Bakri sudah berdiri di antara jama’ah tarawih di barisan pertama. Sungguh, hatinya sangat rindu untuk bisa sholat khusyu’. Rindu pula dia untuk sholat berjama’ah di awal waktu. Dari pengajian tadi dia faham bahwa dosanyalah yang menghalanginya selama ini. “Ya Allah, sungguh banyak dosa yang telah kuperbuat. Selama ini aku tidak menyadarinya. Kalau bukan karena rohmat-Mu aku tak akan mengetahuinya. Sebagaimana Engkau telah membukakan hatiku untuk menyadari dosa-dosaku, Ya Allah, bukakanlah hatiku untuk bersegera menuju maghfiroh-Mu dan menuju surga-Mu yang luasnya seluas langit dan bumi yang Engkau sediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Amin”.

MUTIARA HIKMAH :
1. Manusia sering tidak menyadari dosanya yang banyak. Yang diketahuinya adalah dia tidak pernah sholat awal waktu, tidak berjamaah dan tidak pernah bisa khusyu’ dalam sholatnya. Dan banyak lagi ibadah mahdhoh yang tidak bisa dikerjakannya dengan baik, seperti tidak sholat sunnah, tidak bisa tadarus Al-Qur’an dan sebagainya
2. Ternyata lemah bahkan terhalangnya dia beribadah kepada Allah SWT adalah tanda-tanda akan dosanya yang banyak
3. Agar manusia mau dan mampu rajin beribadah dan merasakan ni’matnya ibadah, tidak ada jalan lain kecuali membersihkan diri dan dosa-dosanya.

Read More......

Renungan Hari Kesepuluh

ANAK SEBAGAI MOTIVASI UTAMA
KELUARGA SAKINAH MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka”

Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitroh. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasroni atau majusi”

Keadaan seorang Ibu yang hamil sungguh luar biasa. Tiba-tiba semua ibu-ibu yang ditemuinya di jalan, di pasar, di tempat kerja, di mal dan di mana pun terlihat sedang hamil atau mendorong kereta bayi. Ini bukanlah hipnotis atau Ibu itu sakit mata. Tapi puncak kebahagiaan telah menyedot fokus perhatiannya kepada Ibu hamil yang tertangkap pandangan matanya. Sehingga Ibu yang tidak hamil terlewat dari perhatiannya. Seperti seorang remaja baru mendapat hadiah motor honda. Maka seolah seluruh motor di jalan adalah honda yang setipe dengan miliknya. Kegembiraan telah mengarahkan perhatian orang kepada obyek yang menjadikan kegembiraannya. Dan mengabaikan yang lain.
Kata pertama yang terucap oleh Ibu setiap berbicara dengan orang dekat, atau siapa pun, adalah soal bayi yang dikandungnya. Tak mau kalah teman yang bertemu dengan sangat antusias menanyakan keadaan si bayi, seolah berebut menarik perhatian si jabang bayi. Tak ketinggalan keempat kakek-neneknya berlomba menjadi juru bicara paling canggih bagi si makhluk mungil dalam rahim itu. Semua dengan bayangan yang sama seorang bayi mungil yang lucu, sehat, menggemaskan, menggugah semangat dan memberi harapan masa depan yang cerah.
Ayahnya pun demikian. Setiap telpon ke rumah yang ditanyakan adalah keadaan bayinya. Semangat kerjanya terpompa hampir sepuluh kali lipat. “Semua keringat yang menetes ini adalah untuk belahan jiwaku”, katanya. Jauh hari sebelum kelahiran musyawarah dilakukan untuk mempersiapkan perlengkapan bayi. Kalau bisa yang terbaik dan termahal yang mampu dibeli. Hari-hari diisi dengan menata ulang posisi furnitur di kamar utama. Mengatur posisi terbaik untuk tempat tidur bayi.
Seluruh kebahagiaan, antusias dan semangat yang dibalut cinta ini adalah rohmat Allah SWT. Rohmat yang menghapus penderitaan Ibu yang membawa beban 1,5 – 3 kg kemana pun dia pergi. Beban yang tidak bisa dilepasnya sedetikpun untuk disimpan sejenak di atas meja. Seperti tasnya yang hanya 0,6 kg diletakkan sejenak di meja untuk mengurangi sedikit rasa pegal ketika kondangan. Allah mengabadikan penderitaan ini dengan firman-Nya (QS 31:14), “Lemah yang bertambah-tambah”.
Rahim yang hanya sebesar telur bebek tiba-tiba membesar untuk dapat menampung bayi yang panjangnya 50 cm dan beratnya 3,0 kg. Makhluk yang tidak hanya berdiam diri di perut Ibunya. Bahkan malam hari ketika Ibu tertidur lelap pun terkadang bayi mungil ini menendang dinding rahim. Memaksa rahim untuk lentur dan kuat. Ibu yang terkejut terbangun seketika. Mulutnya langsung tersenyum. Tangannya mengusap perutnya yang buncit sambil berdo’a, “Nak, apa pun yang kau lakukan Ibu ridlo”.
Tibalah masa persalinan. Allah SWT mengabadikannya dengan firman-Nya (QS 46:15), “Susah payah”. Bayi dengan panjang 50 cm dan berat 3,0 kg itu harus keluar melalui lubang persalinan yang tak sebanding dengan ukurannya. Perjuangan Ibu melahirkan sering disebut sebagai perjuangan hidup dan mati. Sakit yang luar biasa. Energi harus dikuras dengan teknik nafas tertentu. Ketika bayi berhasil keluar lemas seluruh persendian. Luluh seluruh syaraf. Lemah terasa seluruh otot. Ruh seakan melayang entah kemana. Sejenak seakan berada di satu ruang kosong tak bertepi. Begitu bayi mungil disodorkan ke lengan kanannya yang masih tergeletak. Satu sentuhan menyentak syaraf lengan Ibu. Mengalir dengan kecepatan super ke seluruh tubuh. Memanggil kembali ruh yang sempat limbung. Menghidupkan kembali seluruh sel, jaringan dan syaraf. Kekuatan baru mendadak muncul. Berlipat ganda dibanding sebelumnya. Rohmat Allah SWT kembali memeluk Ibu yang berjuang penuh keikhlasan dan cinta.
Pengasuhan 1-2 tahun adalah masa yang sangat kritis. Karena bayi betul-betul dalam keadaan tidak berdaya. Sangat bergantung pada orang dewasa. Ayah dan Ibu sibuk mengurusnya siang dan malam. Terkadang kedua nenek ikut mengasuh dan menjaga. Bersenandung sambil mengajarkan kalimat “Laa ilaha illa-llah”.
Umur 2-5 tahun adalah masa pengasuhan yang sangat melelahkan. Anak mulai menjelajah. Bukan hanya wilayah bergeraknya yang makin meluas. Semua barang ingin dikenalnya dengan menyentuh atau menggigitnya, tanpa tahu sedikitpun bahayanya. Tapi masa balita ini pun dapat dilalui dengan baik. Tidak satu pun balita di dunia ini yang menjengkelkan. Semuanya lucu dan menggemaskan jika dipandang. Pandangan yang dipenuhi rohmat Allah SWT.
Memasuki usia sekolah adalah masa yang membutuhkan biaya sangat besar. Sering kali bukan hanya Ayah, Ibu pun ikut bekerja. Kondisi yang makin menjauhkan hubungan orang tua dan anak. Keadaan perlahan mulai berubah. Cinta dan kasih sayang yang telah terjalin hampir 6 tahun dari sejak kandungan. Cinta dan kasih sayang yang diselimuti rohmat Allah SWT. Mulai menghampiri titik baliknya. Ayah-Ibu yang sibuk dan lelah bekerja seakan belajar untuk mengumpat anaknya, “Nggak tahu Bapak capek. Kamu bisanya minta mainan melulu. Kapan kamu belajar”.
Sungguh tidak ada yang memungkiri lelahnya Ayah, dan juga Ibu, yang bekerja. Juga tidak ada yang menolak bahwa hasil bekerjanya itu adalah untuk anak. Untuk gizi, prestasi dan kesenangan anak lainnya. Tapi jika ada Ayah, apalagi Ibu, yang berkata atau bersikap kasar bahkan mengumpat kepada anaknya, sungguh bukan suatu cara yang diridloi oleh Allah SWT. Ayah dan Ibu tidak perlu bersikap kasar kepada anak, bagaimana pun keadaannya, dengan alasan capek yang langsung diucapkan maupun yang terselubung. Capek terselubung adalah ketika orang tua tidak menyadari kondisi lelahnya, langsung merespon kesalahan anak. Yang terjadi adalah pengendalian emosi yang sangat lemah. Kemarahan bisa meledak tanpa ujung pangkal. Jika hal ini sering diulang maka menjadi kebiasaan yang akan dibenarkan oleh orang tua itu sendiri. Karena hanya 1 per 1.000.000 orang tua yang mau mengakui kesalahannya dalam mendidik anak.
Pak Bakri menyadari betapa susah dan beratnya dia berusaha mengubah perilakunya terhadap Hasanah dan Nurul anaknya. Dua puluh tahun umur Hasanah dan 17 tahun Nurul, jarang sekali dia berkata manis pada mereka. Sifatnya yang emosional dan kekesalannya di sekolah ditumpahkannya di rumah. Istrinya yang semula tidak pernah berkata kasar, jadi terbawa virus emosi yang disebarkannya. Nuansa rumahnya adalah nuansa emosi. Dari bangun tidur sampai mau tidur. Hanya saat tidurlah saat yang bebas dari ucapan keras di rumah itu.
Sekarang bahkan untuk mengucapkan “sayang” kepada anaknya terasa kaku di lidahnya. Seakan kata itu adalah kosa kata bahasa asing yang baru dipelajarinya. Tetapi tekadnya sudah bulat dan mantap. “Aku harus berubah atau api neraka akan menyantapku”, begitu kalimat yang diucapkannya di sela do’anya. Terbayang suasana di akherat yang dengan dramatis dan berkesan disampaikan Ustadz Sobar dalam satu pengajian, “Diriwayatkan ada seorang hamba yang berjalan hendak masuk ke dalam surga. Malaikat mengiringinya dengan menebarkan bau yang harum. Ketika hamba ini sudah siap masuk ke surga, tiba-tiba terdengar suara yang keras, “Tahan! Dia ayahku aku adalah anaknya. Aku ada di neraka adalah gara-gara dia. Dulu, dia tidak pernah mengajarku ibadah dengan benar. Dia membiarkan aku tidak sholat. Dia membiarkan aku tidak puasa. Dia membiarkan aku berani melawan padanya dan pada ibuku. Dia membiarkan aku berzina. Sekarang aku akan menuntutnya”.

MUTIARA HIKMAH :
1. Orang tua telah mengorbankan segala sesuatu untuk mempersiapkan kelahiran bayi, mengasuh dan mendidiknya.
2. Seharusnyalah pengorbanan itu dituntaskan dengan pengasuhan yang penuh kasih sayang dan pendidikan yang mengakar pada aqidah, syariat dan akhlaq secara kuat.
3. Kesalahan orang tua dalam mendidik anaknya, besar maupun kecil, akan menjadi tuntutan di hari penuntutan

Read More......

Rizki Yang Halal Pupuk Penyubur Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rohmah

Renungan Hari Kesembilan

RIZKI YANG HALAL PUPUK PENYUBUR
KELUARGA SAKINAH MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman :
“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS 78:11)
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di muka bumi dan Kami jadikan bagi kalian di muka bumi itu sumber penghidupan. Amat sedikitlah kalian bersyukur” (QS 7:10)
“Maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah” (QS 62:10)
“Dan kewajiban ayahlah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS 2:233)

Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa mencari dunia dengan halal, menjaga diri dari meminta-minta, berusaha untuk keluarganya dan belas kasih kepada tetangganya maka ia bertemu dengan Allah sedang wajahnya seperti bulan purnama”

Orang sekarang bilang, “Jangankan mencari yang halal mencari yang haram saja susah”. Sementara Allah SWT menyuruh makanlah dari yang halal, sebagaimana firman-Nya (QS 2:172), “Hai orang-orang yang beriman makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian”. Dan Rasulullah SAW bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka itu lebih utama baginya”. Maka harus kita tancapkan sedalam-dalamnya dalam keyakinan kita bahwa pernyataan di atas adalah bisikan dan jebakan iblis la’natullah alaih. Karena Allah telah memerintahkan makanlah dari yang halal, tidak mungkin Allah mempersulit untuk mencari yang halal, dan mustahil yang halal itu tidak disediakan oleh Allah.
Tidak ada kata malas, lelah, istirahat sejenak atau bosan bagi iblis untuk menggoda manusia. Dia akan terus-menerus menggoda dengan berbagai cara. Dari depan, dari belakang, dari kanan atau kiri. Sebagaimana firman Allah SWT (QS 7:17), “Kemudian aku (iblis) akan mendatangi mereka (manusia) dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka bersyukur”. Dari depan iblis akan datang dalam wujud dirinya sendiri. Jika gagal mereka akan datang dari belakang, dalam wujud godaan kemewahan dunia dan rizki di dalamnya. Jika gagal lagi mereka akan datang dari kanan, dalam wujud godaan manusia. Jika gagal juga mereka akan datang dari kiri, dalam wujud godaan nafsu.
Sudah kehendak Allah bahwa iblis menjadi panglima perang musuh manusia. Sifatnya yang sombong serta iri dan dengki kepada manusia mendorongnya untuk terus menghilangkan iman di dada manusia. Sebagian motivasi iblis menyesatkan manusia adalah janji Allah SWT bahwa manusia akan dijadikan bahan bakar neraka, sebagaimana firman-Nya (QS 66:6), “... api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. Setiap iblis dan keturunannya berhasil menggoda manusia, maka manusia itu akan menjadi bantalannya dalam bentuk bahan bakar api neraka. Setiap mendapat tambahan satu manusia, maka naiklah kedudukan iblis di neraka. Demikian seterusnya. Betapa bersemangatnya iblis untuk naik kedudukannya di neraka dengan menggoda manusia. Maka bagaimana mungkin manusia tidak bersemangat untuk meningkatkan derajatnya di surga dengan ibadah?
Masalah rizki adalah salah satu senjata ampuh iblis untuk menggoda manusia. Seorang yang miskin. Mengeluh setiap hari. Bahkan tidak sedetik pun dia bersyukur kepada Allah. Setiap ada orang yang bertanya padanya, siapa pun, dengan fasih keluar keluhan, “Yah, keadaan memang begini. Boro-boro mau ibadah. Untuk hidup sehari-hari saja susah”. Keluhan yang sering kali kita pun mengiyakan dan mentoleransinya.
Sementara seorang pegawai swasta yang berpenghasilan Rp 10.000.000,- sebulan. Setiap hari mengeluh, “Yah, bagaimana lagi. Saya harus mengejar target perusahaan. Saya harus sholat subuh di jalan dan sampai di rumah setelah waktu isya”. Sholat subuhnya sendiri saja di jalan. Begitu pula dzuhur, ashar, maghrib dan isyanya tak sekali pun berjama’ah. Bahkan tidak pernah ada yang diawal waktu. Dapat kita bayangkan bagaimana sibuk, lahir dan batinnya, pegawai eksekutif yang gajinya di atas Rp 10.000.000,- bahkan ratusan juta sebulan. Kapan mereka sholat berjama’ah, sholat sunnah, tadarus Al-Qur’an atau do’a dan wiridnya?
Dua kisah di atas adalah contoh godaan rizki yang ditiupkan oleh iblis. Sehingga mereka meninggalkan ibadah. Dan cukuplah haramnya pekerjaan itu jika meninggalkan ibadah karenanya. Kisah di atas menunjukkan pula bahwa meninggalkan ibadah itu bukan karena kecil atau besarnya pekerjaan dan penghasilan. Tetapi betul-betul kembali pada pribadi dan perilaku orangnya. Jika kita perhatikan dengan cermat sekeliling kita, ada orang miskin papa yang ibadah ada juga yang tidak. Ada orang kaya luar biasa yang rajin ibadah ada pula yang meninggalkannya. Sementara si miskin berangan-angan, “Aduh kalaulah aku kaya aku akan ibadah”. Dan yang kaya raya pun berangan-angan, “Nanti kalau aku senggang atau pensiun aku akan ibadah”.
Ada kisah seorang yang rajin ibadah dan sukses usahanya. Pekerjaanya dimulai dengan menyuplai alat tulis kantor ke pemerintah kota. Karena dipercaya berkembanglah usahanya bukan hanya menyuplai ATK saja tapi hampir seluruh kebutuhan pemerintah kota. Dalam satu pengajian dia mendengar penjelasan tentang masalah suap, bahwa yang menyuap dan yang disuap kedua-duanya di neraka. Rupanya pengusaha ini tidak dapat menghindar dari masalah suap dalam usahanya. Terjadilah pergolakan hebat di hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk berhenti dari usahanya sama sekali.
Sementara itu di rumah, istrinya berjualan rujak dan gado-gado kecil-kecilan. Niatnya ingin menunjukkan kepada tiga anak perempuannya untuk hidup mandiri. Bapak pengusaha kita menganggur di rumah hampir setahun. Tiba-tiba terbersit di pikirannya, “Mengapa tidak aku kembangkan usaha istriku saja. Allah pasti menolong hambanya yang berikhtiar mencari usaha yang halal”. Maka dengan sisa tabungannya dirombaklah rumahnya untuk mengembangkan usaha istrinya. Singkat cerita sekarang usahanya sudah maju. Bukan hanya rujak dan gado-gado lagi, tetapi rumah makan yang cukup besar. Dia pun telah membeli tanah di sebelahnya. Sebagian untuk toko yang disewakan dan sebagian untuk usaha barber-shop.
Masih banyak lagi kisah nyata orang yang berikhtiar mencari usaha yang halal. Ternyata Allah SWT membukakan jalannya, menolong dan mengabulkannya. Allah SWT berfirman (QS 65:24-25), “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah pasti Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada terduga-duga”.
Pak Bakri telah bertekad bulat. Dia harus menjadi pemimpin keluarga menuju sakinah, mawaddah wa rohmah. Pertama dia akan fokus pada makna sakinah, yaitu ketenangan dan ketentraman. “Bagaimana mungkin kalau aku masih emosional dan suka bentak-bentak keluargaku akan tenang dan tentram”, pikirnya. “Jadi aku akan mengubah perilakuku yang emosional dan suka bentak-bentak menjadi tenang, sabar, menahan diri dan berkata manis di rumah dan di sekolah”, pikirnya lagi mantap.
“Masih ada lagi! Tadi adalah ketenangan dan ketentraman batin. Bagaimana dengan fisiknya?”, Pak Bakri terus merenung semakin dalam. Malam ini adalah sujudnya yang ke sembilan di bulan Romadlon. Sajadahnya tampak makin cerah. “Ah, aku akan mulai dari apa yang aku bisa. Aku berjanji pada diriku sendiri ‘aku tidak akan pernah mengeluhkan gajiku lagi kepada siapa pun selain kepada Allah SWT’”, senyum keridloan menghias bibir Pak Bakri. Tiba-tiba terlintas sepetak tanah miliknya di kampung. “Mengapa tidak aku jual dan dijadikan modal usaha. Dengan begitu istriku dan Hasanah akan punya kesibukan yang positif dan percaya diri”. Selama ini Pak Bakri tidak percaya diri untuk usaha. Malam ini ada kekuatan yang tiba-tiba muncul. Entah dari mana. Diingatnya hadits yang disampaikan Ustadz Sobar di pangajian, “Barang siapa mencari dunia dengan halal, menjaga diri dari meminta-minta, berusaha untuk keluarganya dan belas kasih kepada tetangganya maka ia bertemu dengan Allah sedang wajahnya seperti bulan purnama”.

MUTIARA HIKMAH :
1. Sesungguhnya kesulitan masalah rizki yang menghantui manusia adalah tiupan iblis untuk menyimpangkan aqidah manusia.
2. Rizki sudah ditetapkan oleh Allah SWT. (QS 13:26; 17:30; 28:82; 29:62; 30:37; 34:36,39; 39:52; 42:12)
3. Usaha tanpa taqwa atau taqwa tanpa usaha adalah miskin. Usaha dengan landasan taqwa itulah kaya sejati

Read More......

Akhlaqul Karimah adalah Air Kehidupan Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rohmah

Renungan Hari Kedelapan

AKHLAQUL-KARIMAH ADALAH AIR KEHIDUPAN
KELUARGA SAKINAH MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman (QS 6:12) :
“Dia telah menetapkan atas diri-Nya Ar-Rohmah”
Allah SWT berfirman (QS 6:54) :
“Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya Ar-Rohmah”
Allah SWT berfirman (QS 21:107) :
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rohmat bagi semesta alam”
Allah SWT berfirman (QS 68:4) :
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berakhlaq yang agung”

Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia”
Rasulullah SAW bersabda :
“Kebanyakan manusia yang masuk ke dalam surga adalah yang bertaqwa dan berakhlaq yang baik”

Pada renungan kita sebelumnya telah dijelaskan bahwa makna rohmat Allah SWT adalah segala sesuatu kebaikan yang membuka jalan bagi manusia untuk ma’rifat kepada Allah SWT. Baik ma’rifat kepada Zat Allah SWT, ma’rifat kepada Sifat Allah SWT dan ma’rifat kepada af’al (perbuatan) Allah SWT. Termasuk di dalamnya ma’rifat kepada ilmu dan amal beribadah kepada Allah SWT. Jika bukan karena rohmat Allah SWT kita tidak akan mengerti bahwa harus beribadah, tidak mau untuk beribadah, dan tidak mampu melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Bentuk rohmat Allah SWT adalah meliputi segala sesuatu, sebagaimana firman Allah SWT (QS 7:156), “Dan rohmat-Ku meliputi segala sesuatu”. Seluruh yang di dalam diri manusia dan yang di luarnya. Seluruh benda mati sampai makhluk hidup. Seluruh yang di tanah, di air, di udara dan di langit. Seluruh ilmu pengetahuan, teknologi dan hasil serta perkembangannya. Seluruh perilaku manusia individual dan sosial maupun lokal dan global. Seluruh pencapaian manusia secara materi, fikiran, mental dan spiritual. Semua adalah wujud Rohmat Allah SWT di dunia.
Untuk menyempurnakan rohmat-Nya dan agar manusia dapat memandang dan merasakan dengan lebih jelas kepada rohmat-Nya itu Allah mengutus Nur-Nya. Nur itu adalah Rasulullah SAW, sebagaimana firman-Nya (QS 5:15), “Sesungguhnya telah datang kepadamu Cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan”. Bahkan Allah SWT mewakilkan sifat rohmat-Nya pada Rasulullah SAW, sebagaimana firman-Nya (QS 21:107) , “Dan tiadalah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rohmat bagi semesta alam”. Untuk tugas sebagai cahaya rohmat, bahkan sebagai rohmat itu sendiri bagi semesta alam, Allah SWT menganugerahkan kepada Rasulullah SAW sifat akhlaq yang agung, sebagaimana firman-Nya (QS 68:4), “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berakhlaq yang agung”.
Rasulullah SAW adalah rohmat bagi seluruh makhluk. Baik manusia maupun jin. Orang mukmin maupun kafir. Perempuan maupun laki-laki. Manusia, hewan, tumbuhan maupun benda mati. Dan Rasulullah SAW mendahulukan sifat rohmat itu bagi dirinya sendiri sebelum kepada orang lain, sehingga beliau SAW memiliki perilaku akhlaq yang agung. Dalam hadits yang diriwayatkan Sayyidina Abu Hurairah ra dikatakan, “Orang-orang berkata :’Wahai Rasulullah berdo’alah agar orang-orang musyrik ditimpa azab’. Rasulullah menjawab :’Aku diutus bukan untuk mengutuk melainkan sebagai rohmat”.
Rasulullah SAW adalah orang yang paling sabar, paling zuhud dan paling dermawan. Beliau tidak pernah membentak perempuan dan anak-anak. Juga tidak kepada orang miskin dan peminta-minta. Beliau tidak pernah menolak orang yang akan menemuinya dan tidak pernah menolak permintaannya selama tidak menyalahi syariat dan tidak memutuskan tali silaturahim. Beliau tidak pernah mencela makanan. Jika ada makanan beliau makan, jika tidak beliau puasa. Tidak pernah pula mencela tempat tidurnya, jika tidak ada beliau tidur di tanah. Cukuplah kita ambil hadits dari Siti Aisyah untuk menggambarkan akhlaq Rasulullah SAW. “Akhlaq Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an”.
Mengapa Rasulullah amat sangat mendahulukan akhlaq dalam dakwah dan menegakkan risalah-Nya. Karena akhlaq adalah pintu masuk penerimaan, penyerahan diri dan keridloan. Jika Rasulullah SAW mendahulukan isi dakwah, semisal iman kepada Allah, tanpa mengedepankan akhlaq, pasti tak seorangpun dari Quraisy Makkah yang mau menerima ajakannya itu. Walaupun keadaan iman itu adalah benar dan dapat dibuktikan kebenarannya, pintu hati orang telah tertutup untuk menerimanya karena akhlaq tidak menyentuh ke dalam hatinya.
Jika Rasulullah SAW adalah rohmat bagi semesta alam, maka seorang ayah adalah rohmat bagi keluarganya. Rasulullah SAW mengajak manusia beriman kepada Allah ta’ala, Ayah pun mengajak keluarganya untuk beriman kepada Allah ta’ala. Rasulullah SAW mengajak manusia untuk melaksanakan syariat Islam, Ayah mengajak keluarganya untuk melaksanakan syariat Islam. Rasulullah SAW mengajak manusia melaksanakan kebaikan, Ayah mengajak keluarganya melaksanakan kebaikan. Rasulullah SAW melarang manusia untuk berbuat dzolim, Ayah melarang keluarganya berbuat dzolim. Rasulullah SAW melarang manusia berbuat ma’siyat, Ayah melarang keluarganya berbuat ma’siyat. Rasulullah SAW mencegah manusia dari siksa api neraka, demikian pula Ayah mencegah keluarganya dari siksa api neraka.
Bila untuk melaksanakan tugas kerasulannya itu Muhammad Rasulullah SAW, manusia paling mulia dan kekasih Allah SWT, diwajibkan untuk memiliki akhlaq yang agung, bagaimana mungkin seorang ayah akan melaksanakan tugas kepemimpinannya di keluarga tanpa akhlaq mulia? Akhlaq mulia adalah air kehidupan bagi keluarga bagaikan air menghidupkan tanaman. Air akan menjadikan bibit, pupuk dan obat berfungsi dengan baik dan maksimal bagi pertumbuhan tanaman. Begitu pula akhlaq karimah akan mengalirkan perilaku yang baik, pemikiran yang cerdas dan ibadah yang kuat pada seluruh anggota keluarga.
Hari ke-8 Romadlon Pak Bakri bangun pukul 03.30. Sebelum tidur telah disiapkannya peci, baju koko, pakaian dalam dan sarung yang akan dipakainya sholat subuh ke masjid. Handuk sudah tergantung di kamar mandi. Untuk masuk ke kamar mandi dia harus melewati dapur. Ruang 2,5x3 m2 di sebelah ruang tengah itu ditembok lagi 1,5x1m2 untuk kamar mandi. Sisanya adalah dapur.
Dilihatnya istrinya sudah siap menghidangkan santapan sahur. Hasanah seperti biasa ikut membantunya. Nurul masih belum bangun. Kedua anaknya ini bukanlah anak yang berprestasi di sekolah. Hasanah lulusan SMK swasta. Setelah lulus dia sempat mengambil kursus komputer. Tapi karena motivasinya kurang dan masalah biaya, kursus tak dapat diselesaikannya. Nurul masih kelas dua SMA swasta. Tentu karena tidak diterima di SMA negri. Sebenarnya Pak Bakri adalah guru SMA negri di kotanya. Dia bisa memasukkan Nurul di sekolahnya. Tapi karena tahu kemampuan anaknya, dia malu untuk memaksakan anaknya.
Pak Bakri merenung. Terbayang lagi peristiwa ketika anaknya masih kecil. Sering sekali dia memukul dan mencubit anaknya. Terutama Hasanah. Sampai masih ada tanda biru di tengah pahanya sebelah kiri. Setiap kali Hasanah tidak mau belajar dia akan membentaknya. Kalau anaknya menangis dia tidak tahan lagi dan akan memukul pahanya atau mencubitnya sambil diputar. “Kamu ini anak guru harus pintar dan juara kelas”, begitu kata-kata bentakan yang sering keluar dari mulutnya. Sampai kelas satu SMP dia masih suka memukul atau mencubit Hasanah. Setelah itu dia menghentikan pukulan dan cubitan tapi bentakan dan kata-kata kasar masih sering diucapkannya. Pak Bakri menghela nafas panjang berkali-kali. “Ya Allah, bagaimana mungkin perilakuku yang seperti itu dapat mengantarkan harapan dan cita-citaku agar anak-anakku menjadi anak yang pandai, mandiri dan thoat kepada-Mu”, keluhnya. Ketakutan dan mungkin juga kebencian telah mendahului pandangan Hasanah dan Nurul terhadap ayah mereka, karena perilakunya yang jauh dari akhlaq karimah. Bagaimana mungkin mereka mampu menerima nasehat ayah mereka untuk ibadah dan belajar dengan baik. Hatinya hampir tertutup untuk menerima, memasrahkan diri dan ridlo kepada Ayahnya.

MUTIARA HIKMAH :
1. Allah SAW berkehendak mengaruniai akhlaq yang agung kepada Rasulullah SAW untuk mengemban tugas sebagai rohmatan lil-alamin
2. Akhlaq Rasulullah SAW adalah kunci keberhasilan dakwah beliau
3. Seorang Ayah adalah rohmat bagi keluarganya. Agar berhasil menjalankan tugas kunci keberhasilannya adalah akhlaq karimah

Read More......

Ayah dan Ibu adalah Bibit Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rohmah

Renungan Hari Ketujuh

AYAH DAN IBU ADALAH BIBIT
KELUARGA SAKINAH MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”

Jika satu individu laki-laki dan satu individu perempuan mengikat diri dalam pernikahan, maka tumbuhlah satu pohon keluarga. Satu pohon yang tumbuh bersama pohon-pohon lain dalam satu lahan perkampungan, kota, atau negara. Masing-masing pohon akan berbuah. Kemudian menyebarkan dan menyemaikan buahnya menjadi bibit yang akan tumbuh menjadi pohon-pohon baru. Pohon-pohon baru yang diharapkan akan menjadi pohon-pohon yang lebih berkualitas. Pohon yang lebih kuat aqidahnya. Lebih kuat syari’at-ibadahnya. Lebih kuat akhlaqnya. Lebih mendalam ilmu tauhidnya. Lebih luas ilmu fiqihnya. Lebih mulia akhlaqnya. Lebih mampu menahan diri dari perbuatan ma’siyat, perbuatan dzolim, perbuatan menyakiti hati orang lain dan mengambil hak orang lain.
Pohon yang lebih baik dalam menyelesaikan urusan dan tantangan diniawinya. Lebih baik ilmu kedokterannya. Lebih baik ilmu disain dan konstruksi bangunannya. Lebih baik ilmu pertaniannya. Lebih baik ilmu peternakannya. Lebih baik ilmu manajemennya. Lebih baik ilmu akuntansinya. Lebih baik komunikasinya. Lebih baik hubungannya. Lebih baik politiknya. Lebih baik dalam menyebarkan kemanfaatannya bagi seluruh umat manusia. Bukankah Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi umat manusia”.
Mari kita renungkan dengan hati yang jernih serta pikiran yang cerdas dan terbuka. Bibit macam apa yang diperlukan untuk dapat memenuhi tujuan tersebut? Bibit macam apa yang dapat menghasilkan buah yang mendahulukan Allah dan Rasul-Nya lebih dari pada yang lain? Bibit macam apa yang dapat menghasilkan panen raya yang memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam urusan dunia, besarnya dan meratanya?
Mari kita renungkan. Apakah saat menjadi calon mempelai kita menyadari bahwa kita harus menjadi bibit seperti itu? Kita memikirkan secara mendalam bagaimana caranya memenuhi kriteria bibit seperti itu? Benar-benar mau dan bersungguh-sungguh mencapai kualitas bibit seperti itu?
Malam itu, selepas tarawih dan witir, separuh jama’ah mulai bubar. Pak Bakri terlihat masih khusyu’ mengikuti do’a witir. Dari malam pertama Pak Bakri sudah mengikuti do’a witir, dan diteruskan dengan tadarusan. Romadlon tahun lalu dia ikut do’a witir tapi tadarusannya hanya ikut 5 kali. Ada perasaan tidak enak, karena bacaannya lambat dan tajwidnya tidak rapih. Malu rasanya. Apa lagi waktu gilirannya membaca suaranya mendadak serak dan bergetar. Tiba-tiba saja datangnya getaran itu. Entah dari mana. “Aneh juga. Aku adalah guru yang berpengalaman puluhan tahun. Tapi tadarusan suaranya gemetaran”, pikirnya.
Soal gemetaran ini Pak Bakri tidak sendirian. Ada dua jama’ah lainnya yang juga gemetaran. Seluruhnya yang ikut tadarusan ada 9 orang. Semuanya Bapak-bapak. Ibu-ibu biasanya mempunyai kelompok tadarusan sendiri pada waktu dluha. Masjid berukuran 15x15 m2 itu mampu menampung jama’ah 500 orang lebih. Jika sholat Jum’at jama’ah melimpah sampai ke terasnya. Buletin Jum’at yang dicetak 700 eksemplar selalu habis. Pada malam pertama tarawih di dalam masjid penuh. Sebagian teras terisi. Tapi tidak sepenuh Jum’atan. Jama’ah tarawih setengahnya diisi oleh Ibu-ibu. Jika dihitung jumlah Bapak-bapak semuanya 250 orang, berarti yang ikut tadarus hanya 1 dari 26 orang. Dari 9 orang yang ikut tadarus 3 orang terbilang lancar. Dengan anggapan bahwa yang tidak ikut tadarus itu alasannya karena tidak lancar, berarti Bapak-bapak yang lancar tadarus Al-Qur’an adalah 1 di antara 75 orang saja.
Keadaan Ibu-ibu pun tidak jauh berbeda. Yang hadir tadarusan, pada waktu dluha, sedikit lebih banyak yaitu 15 orang. Bandingkan dengan yang hadir pengajian yang mencapai 60 orang dan arisan yang mencapai 80 orang. Tadarusan Ibu-ibu lebih seru dibanding Bapak-bapak. Karena setiap bacaan yang salah dikomentari. Terkadang ada suara tawa di antara bacaan Al-Qur’an.
Perhitungan 1 orang yang lancar tadarus Al-Qur’an di antara 75 muslimin adalah perhitungan sangat kasar berdasarkan jumlah muslimin yang hadir sholat tarawih di masjid. Barapa jumlah muslimin yang tidak sholat tarawih di masjid, atau bahkan tidak tarawih sama sekali, tidak termasuk dalam perhitungan ini. Jika perkiraan yang tidak sholat tarawih di masjid sama dengan yang hadir di masjid, maka jumlah muslim yang lancar tadarusnya adalah 1 dari 150 muslimin. Kalau kita telusuri lagi jumlah muslim yang bisa mengartikan Al-Qur’an, maka angka perbandingan ini akan menjadi jauh lebih kecil lagi.
Al-Qur’an adalah sumber hukum dan sumber ilmu bagi umat Islam. Bahkan Al-Qur’an adalah way of life bagi muslimin. Al-Qur’an adalah sumber budayanya. Sumber cara berfikirnya. Sumber cara bersikapnya. Sumber kecenderungannya. Sumber kesenangannya. Sehingga seyogyanyalah seorang muslim itu menyenangi apa yang menjadi kesenangan yang di sebut dalam al-Qur’an. Dan membenci apa yang menjadi kebencian yang disebut dalam Al-Qur’an. Jika seorang muslim tidak bisa mengartikan Al-Qur’an, atau membacanya hanya sekali-sekali, bahkan tidak membacanya sama sekali, bagaimana mungkin seorang muslim akan merasa, berfikir, bersikap dan bertindak sebagai muslim?
Pada malam ke-7 biasanya jama’ah tarawih berkurang seperempatnya. Malam ke-15 sudah berkurang setengahnya. Malam likuran tidak sampai setengahnya yang tinggal. Begitulah gambaran ibadah sholat kaum muslimin. Berapa banyak umat Islam yang sholat tidak di awal waktu? Berapa banyak yang tidak sholat qobliyah dan ba’diyah. Berapa banyak yang tidak mengamalkan sholat sunnah lainnya, semisal sholat tahajud, dluha, hajat dan istikhoroh. Berapa banyak pula yang sholat hanya dalam bentuk rutinitas saja. Tidak memberikan dampak positif apa pun pada kehidupannya di luar sholat. Sehingga kita kenal istilah STMJ (Sholat Terus Ma’siyat Jalan). Na’udzubillah. Sedangkan Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”.
Bibit itu adalah kita. Seberapa besarkah kesungguhan kita menjadi bibit keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Sebagaimana do’a ajengan yang dipanjatkan pada saat pernikahan kita. Do’a yang kita amini dan diamini oleh seluruh yang hadir.
Romadlon ini tajwid Pak Bakri masih belum rapih. Suaranya pun masih gemetaran. Tapi dia sudah bertekad. Romadlon kali ini harus menjadi Romadlon yang berbeda. Romadlon yang lebih baik dari tahun lalu. Dia sering mengajar murid-murid kalau ingin terampil kuncinya hanya satu, yaitu sering diulang-ulang. “Kamu nggak ngerti juga ya. Biar bisa harus sering diulang. Kalau malas ya nggak akan bisa-bisa”, begitu kalimat yang sering diucapkannya di kelas. Anehnya, muridnya tidak pernah berubah dari kebiasaan malasnya. Sekarang Pak Bakri menyadari, bisa jadi itu karena dia mengucapkannya dengan nada penuh emosi. Dan pikirannya sudah buruk sangka bahwa murid-muridnya itu tidak akan pernah bisa berubah. “Astaghfirullah, banyak sekali perbuatan dzolimku selama ini”, katanya dalam hati. Sementara itu tadarus sudah siap dimulai. Pak Bakri yang berumur 48 tahun memompa semangatnya dan berfikir positif tentang dirinya, “Aku pasti bisa lancar tadarus Al-Qur’an. Kalau aku mulai sekarang, cepat atau lambat pasti bisa. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini sehingga bisa cepat lancar, sebelum Kau utus Malaikat-Mu untuk menjemputku”. Tiba giliran Pak Bakri tadarus. Suaranya masih gemetar. “Teruskan! Sekarang kau malu! Kau akan lebih malu lagi kalau masih gemetaran di hadapan Allah!”, katanya dalam hati.

MUTIARA HIKMAH :
1. Ayah dan Ibu adalah bibit yang akan menumbuhkan keluarga sakinah, mawaddah dan rohmah
2. Keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah adalah keluarga yang dapat menurunkan generasi penerus yang kuat iman-taqwanya dan luas ilmu pengetahuan dan teknologinya
3. Oleh karena itu sebagai bibit Ayah dan Ibu harus mempersiapkan dan memberdayakan diri sesuai dengan visi dan misinya tersebut

Read More......

Ilmu dan Ma'rifat adalah Landasan Keluarga Sakiinah, Mawaddah wa Rohmah

Renungan Hari Keenam

ILMU DAN MA’RIFAT ADALAH LANDASAN
KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman :
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan bumi semisal itu pula. Perintah Allah berlaku terus-menerus diantara keduanya agar kalian memperoleh ilmu bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan bahwa sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu

Ada kisah 2 orang yang GR (gede rasa) dengan iman dan niat ihklasnya. Yang seorang menanam pohon duren tanpa ilmu. Seorang lagi punya ilmu tapi tidak menanam. Yang tanpa ilmu menanam pohon duren menurut sangkaannya. Dia pikir cara yang dipakainya adalah yang terbaik. “Aku kan sudah mencari bibit yang baik. Tanahnya aku cangkul dengan baik. Aku airi dengan baik. Aku beri pupuk yang baik. Dan aku semprot dengan obat yang baik”, katanya. Tetapi dia tidak pernah peduli perkataan ahli pohon duren tentang apa itu bibit yang baik, cara mencangkul, mengairi, memupuk, dan menyemprot yang baik. “Ini adalah cara yang dilakukan oleh ayahku, kakekku, dan seterusnya”, kilahnya. “Dan yang penting aku sudah beriman dan niat ikhlas lillahi-ta’ala dalam menanam pohon duren ini”, katanya lagi. Dia yakin bagaimana pun caranya menanam pohon akan mendapat pahala dari Allah, sebab dia beriman dan niat ibadah. Apa yang terjadi? Dia bingung melihat banyaknya buah duren dari kebun tetangganya yang tidak beriman laris manis di kampungnya. Sementara durennya sudah harganya murah tetap tidak laku.
Yang punya ilmu berkata, “Aku sudah beriman dan niat lillahi-ta’ala. Aku sholat dan melaksanakan ibadah yang lain. Memang aku tahu ilmunya, tapi aku tidak perlu menanam. Allah Maha Tahu dan akan membalas niatku”. Maka dia pun hanya melihat saja betapa duren dari kebun tetangganya yang tidak beriman membanjiri kampungnya. Sementara tetangganya itu terus mengembangkan ilmu dan amal duniawinya. Sehingga menjual, bukan hanya duren, tetapi berbagai macam buah ke seluruh dunia. Bahkan ke Makkah dan Madinah.
Begitulah kebanyakan ilmu dan amal umat Islam di Indonesia, bahkan di dunia. Mereka GR telah menguasai ilmu dan ma’rifat tentang akhirat. Sehingga tidak butuh lagi akan dunia. Sementara orang kafir bangga dengan ilmu dan ma’rifatnya tentang dunia, sehingga tidak merasa butuh lagi akan akhirat.
Pak Bakri sudah bertekad untuk membangun kembali keluarganya menjadi sakinah, mawaddah wa rohmah. Dia sangat yakin pasti ada caranya. Pasti ada ilmunya. Dia teringat di suatu pengajian Ustadz Sobar pernah menyampaikan hadits Rasulullah SAW : “Setiap panyakit ada obatnya”. Bukankah keluargaku sekarang sedang sakit. Pasti ada obatnya. Dia pun teringat akan hadits lain pada pengajian yang sama : “Barang siapa menghendaki dunia harus dengan ilmu. Barang siapa menghendaki akhirat harus dengan ilmu. Dan siapa menghendaki keduanya harus pula dengan ilmu”.
Ingin sekali Pak Bakri mencontoh rumah tangga Rasulullah SAW. Dia sering mendengarkan pengajian tentang rumah tangga Rasulullah SAW. Sebagai guru dia pun membaca buku-buku tentang rumah tangga mulia itu. Tetapi tidak ada yang memuaskan dan bisa menggerakkannya. “Rupanya aku belum dapat hidayah dari Allah”, pikirnya. Tapi bukankah menyandarkan perbuatan dosa kepada takdir dan hidayah adalah dosa? Sebenarnyalah dosaku ini betul-betul karena aku dzolim pada diriku sendiri. Aku sadar bahwa aku dzolim. Maka aku harus segera bertobat dan memperbaiki diri. Berbagai pikiran berkecamuk dalam dirinya. “Ya Allah, berilah aku petunjuk dan pertolongan agar aku dapat segera meneladani rumah tangga kekasih-Mu, Baginda Rasulullahi SAW”.
“Baiklah, aku akan mulai dari sesuatu yang sangat aku kenal, yaitu akhlaq Rasulullah SAW”, bisiknya mantap. Beliau terkenal sangat santun tutur katanya. Tidak pernah bertemu orang kecuali beliau mendahului salam. Bibirnya senantiasa tersenyum. Wajah dan gerakan tubuhnya memberikan kehangatan. Kasih sayangnya terasa sampai pada orang terakhir yang hadir bersamanya. Beliau tidak pernah kasar pada perempuan dan anak-anak. Tidak pernah membentak orang yang lemah. Tidak pernah menggunjing. Tidak pernah mencela makanan. Selalu memanggil dengan kata-kata yang paling manis. Tidak memalingkan muka jika ada orang berbicara padanya. Tidak pernah memotong pembicaraan orang. Tidak pernah berbohong. Selalu menepati janji. “Tentu masih banyak lagi yang lain yang aku tidak ingat, atau aku tidak pandai menyebutkannya”, kata Pak Bakri merenung. “Ya Allah, jika aku bisa mengikuti apa yang mampu aku sebut itu saja, betapa aku akan menjadi pribadi yang sungguh berbeda”, bisiknya lagi.
“Jika diibaratkan mananam pohon, akhlaq mulia dan sikap kasih sayang adalah airnya. Sebaik apa pun bibit, pupuk dan obatnya, jika tidak disirami pohon yang ditanam akan mati. Kalau ada air dan disiram, sejelek apa pun bibit, pupuk dan obatnya pohon tetap hidup hanya saja kecil dan sakit”, Pak Bakri mulai berteori. “Pantas rumah ini serasa mati. Aku sama sekali tidak menggambarkan sebagai seorang Ayah yang berakhlaq. Ya Allah, karuniailah kami akhlaq yang mulia mengikuti akhlaq Rasul-Mu SAW”, desahnya.
“Aku dan istriku datang dari bibit yang cukup bagus. Ayah-Ibuku dan kedua mertuaku orang-orang yang soleh dan solehah. Aku dididik agama dengan baik, begitu juga istriku. Kami berdua tadarus Al-Qur’an setiap hari secara rutin. Sholat sunnah qobliyah dan ba’diyah seperti kebanyakan orang, kadang-kadang ya kadang-kadang tidak. Memang kuakui, kami jarang sekali puasa sunnah dan sholat tahajud. Apalagi soal sedekah. Kami sangat pelit dan itungan. Untuk diri sendiri saja rasanya kurang”, begitu Pak Bakri mulai menghitung-hitung dirinya. Dia teringat hadits yang sering diulang di pengajian, “Hitunglah dirimu sebelum dirimu dihitung”. “Ya Allah, tambahkanlah kepada kami ilmu dan pemahaman agar kami dapat meningkatkan ibadah kami kepada-Mu”.
“Ilmu dan keahlianku itu ibarat pupuknya. Alhamdulillah, aku sarjana pendidikan dengan pengalaman mengajar 20 tahun lebih”, Pak Bakri melanjutkan teorinya. “Masya Allah!”, tiba-tiba dia tersentak, “Baru kali ini rasanya aku mengucapkan alhamdulilah atas kesarjanaan dan pengalamanku. Betapa selama ini aku tidak bersyukur kepada Allah dan kepada kedua orang tuaku”. “Ternyata pupuk pohon keluargaku adalah pupuk yang baik. Terbukti sampai usia keluargaku yang ke-21 ini kami tidak pernah sakit parah. Tidak pernah tidak makan dalam sehari. Pakaian kami cukup layak untuk datang ke acara undangan. Di rumah, kami memiliki TV dan komputer walaupun model lama. Aku ke sekolah naik motor. Motor yang sama kami pakai untuk ke mal atau rekreasi”.
Pak Bakri teringat kisah Rasulullah SAW, kekasih Allah dan manusia paling mulia. Rumah beliau hanya 5 x 5 m2. Setelah putri tercintanya, Siti Fatimah, menikah beliau berbagi rumah dengan menantunya, Sayyidina Ali, masing-masing 2,5 x 5 m2. Pada musim dingin yang sangat menusuk, Rasulullah berselimut. Jika selimut ditarik ke dada, kakinya terbuka. Jika ditarik ke kaki, dadanya terbuka. Apabila Rasulullah bangun di malam hari untuk tahajud, bekas-bekas pelepah kurma tampak di pipi dan badannya.
Begitu pula Sahabat Umar r.a. Pernah suatu ketika Sayyidina Umar r.a terlambat menunaikan sholat Jum’at. Sahabat yang lain menanyakan keadaannya itu. Sayyidina Umar r.a menjawab, “Maafkan saya sudah terlambat, saya sibuk mencuci pakaian dan saya tidak mempunyai pakaian lain lagi”. Dikisahkan pula pakaian Sayyidina Umar r.a bertambal-tambal sampai 12 tambalan. “Ya Rasulallah, aku pasti takkan mampu seperti dirimu atau sahabatmu atau ulama pewaris ilmumu sekali pun. Tetapi sungguh berlebihan jika aku terus menggerutu dan mengeluh dengan gaji dan rizki yang aku ni’mati ini. Ya Allah, Jadikanlah kami pandai bersyukur atas segala karunia-Mu”.
Tanaman memerlukan obat agar tumbuhnya kuat, cepat, indah dan manis buahnya. “Kalau begitu anak-anakku adalah obat pelipur lara, pemberi semangat, penambah energi, sumber harapan, dan katalisator bagi keluargaku”, Pak Bakri terus merenung. Dia membayangkan tetangga sebelah yang seumur dengannya tapi tidak mempunyai anak. Mereka, suami-istri, keduanya bekerja. Suaminya pegawai negri dan istrinya pegawai swasta. “Untuk mengisi waktu dari pada menganggur di rumah”, begitu katanya sesekali ada obrolan ibu-ibu tentang pekerjaan. Walaupun tampak bahagia dan gembira, namun tidak dapat menyembunyikan seberkas sinar kosong dalam tatapan matanya.
Mereka tidak mengangkat anak. Tapi ada dua keponakannya yang ikut dan dibiayai sejak kecil. Orang tuanya di kampung hanya sebagai buruh tani. “Mereka juga sangat ingin punya anak, Yah. Tapi kata mereka mungkin Allah belum mempercayainya. Mereka berdua bekerja untuk siapa lagi uangnya kalau bukan anak. Tapi untuk keponakan sama saja kan, Yah. Pahalanya juga gede”, ujar istriku yang termasuk tokoh ngrumpi di kampung itu. Pak Bakri kembali menerawang, “Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah mempercayai kami untuk mengasuh, membiayai dan mendidik anak kami. Khianatkah aku selama ini? Ya Allah, aku tak sanggup mengatakan bahwa aku khianat. Bukan aku tak mau mangakuinya, ya Allah. Tapi aku tak sanggup menerima murka-Mu. Ya Allah, berilah kami hidayah-Mu agar kami dapat mendidik kedua putri kami menjadi anak yang solehah. Yang menjadi permata hati kami di dunia. Yang do’anya menjadi cahaya penerang di kegelapan kubur kami”.

MUTIARA HIMAH :
1. Setiap penyakit ada obatnya, setiap persoalan ada ilmu untuk memecahkannya
2. Ibarat menanam pohon untuk menumbuhkan keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah membutuhkan bibit, pengairan, pupuk dan obat yang berkualitas tinggi. Bibit adalah Ayah dan Ibu, airnya adalah akhlaq karimah, pupuknya adalah pekerjaan dan rizkinya, obatnya adalah anak
3. Pohon berkualitas tumbuh dari bibit, pengairan, pupuk dan obat yang berkualitas. Begitu pula keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah tumbuh dari Ayah dan Ibu ahli ibadah, perilaku akhlaq karimah, pekerjaan dan rizki yang halal serta anak yang sholeh dan sholehah

Read More......

Niat Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah Wa Rohmah

Renungan Hari Kelima

NIAT MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman (QS 46:15) :
“Ya Robbi, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada Ibu-Bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal soleh yang Engkau ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”

Sore itu, hari kelima Romadlon, Pak Bakri menerawang. Dia baru selesai tadarus Al-Qur’an, setelah sholat ashar. Belum pernah dia merasakan getaran seperti ini. Jam menunjukkan pukul 16.50. Hampir satu jam dia tadarus. Dibukanya lagi Al-Qur’annya, halaman 106, akhir surat An-Nisa. Tadi dia mulai dari awal surat, di halaman 77. “Alhamdulillah ya Allah, aku bisa tadarus 30 halaman sekali baca. Biasanya paling banyak 15 halaman”, gumamnya bersyukur. Dia sering mendengar cerita ustadznya, banyak santri yang tadarus 1 juz dalam 20 menit dengan tartil. Kalau bulan Romadlon sehari sampai 3 atau 5 juz, berarti 3 atau 5 kali khatam. Kata ustadznya, makin cepat khatam makin sering pula diulang. Kalau sering diulang makin banyak yang dihafal dan difahami. “Ya Allah, kapan aku bisa seperti itu?”, Pak Bakri mendesah.
Entah mengapa sore itu ingatannya tidak bisa lepas dari Ustadz Sobar, guru pengajian rutin di kampungnya. Ustadznya yang memang terkenal sabar itu sering menasehati, ”Bapak-bapak kalau ingin selamat hidup kita harus selalu mengikuti apa yang diperintahkan Allah. Jangan mengikuti apa kata kita sendiri atau apa kata masyarakat. Juga yang dilarang Allah harus betul-betul kita jauhi”. “Ya Allah, berilah aku petunjuk agar aku berada di jalan yang Kau ridloi. Ya Allah, berilah aku keluarga yang dapat menjadikan ketentraman dalam hatiku. Tempat aku mencurahkan seluruh kasih sayangku. Dimana Engkau menurunkan rohmat-Mu kepada kami”, tanpa terasa do’a lirih meluncur dari mulutnya.
Ingatannya beralih pada peristiwa ketika Ustadz Sobar membacakan do’a di acara akad nikah tetangganya. Walaupun do’anya dalam bahasa Arab dia cukup mengerti artinya, yaitu, ”Ya Allah, anugerahilah mempelai ini keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Pertautkanlah hati mereka sebagaimana Engkau mempertautkan hati Nabi Adam dan Siti Hawa, Nabi Yusuf dan Siti Zulaikho, Nabi Muhammad dan Siti Khodijah, serta Sayyidina Ali dan Siti Fatimah”. Do’a itu pula yang dibacakan pada perkawinannya 21 tahun yang lalu. “Yaa Allah, bagaimana mungkin aku yang sering menggerutu dan mengeluhkan gajiku kepada semua teman-temanku. Aku yang kasar kepada istri dan anak-anakku. Aku yang tidak pandai bersyukur. Dapat membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah”, pengaduannya mengalir kepada Allah. Sesak terasa dadanya. Dicobanya menarik nafas panjang, sambil memasrahkan seluruhnya kepada Allah, “Ya Allah, sungguh aku telah dzolim pada diriku sendiri. Kalau bukan karena ampunan dan rohmat-Mu, sungguh aku akan menjadi hamba yang merugi”.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Suara piring yang diletakkan di meja terdengar khas di telinga Pak Bakri. Sesekali suara sendok dan piring atau sendok dengan sendok terdengar. Istrinya mulai menyiapkan hidangan buka. Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah istrinya bertanya, “Bukaannya pakai apa, Mas?”. Terdengar manis dan sejuk sekali di hati Pak Bakri. Entah mengapa, sejak menangis pada malam kedua Romadlon, dia merasa rumahnya lebih lega. Jarak 1,5 m dari pintu kamar ke meja makan, yang sering membuatnya tersandung kursi, sepertinya menjadi lebih luas. Di hari pertama perjalanan ke sekolah tadi pagi, seolah semua orang tersenyum padanya. Di sekolah pun semua orang menyalami dan mengucapkan selamat puasa. Dengan kuat dipegangnya satu-satu tangan temannya, dan keluar dari mulutnya, “Maaf ya, maaf ya”, berkali-kali. “Ya Allah, dunia terasa menerimaku lagi. Mungkinkah Engkau juga menerimaku lagi? Aku akan bangun kembali puing-puing keluargaku menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah”.
“Ayah! Jangan nglamun aja. Udah mau buka”, tiba-tiba istri Pak Bakri sudah berada di sampingnya. Setengah terkejut tiba-tiba Pak Bakri memeluk erat istrinya. “Maafkan Bapak, Bu. Maafkan Bapak, Bu”, ujarnya tanpa bisa menahan air matanya yang jatuh. Istrinya yang masih bingung berusaha melepaskan pelukan Pak Bakri, “Kenapa sih Ayah ini. Ayo kita buka bersama. Itu, Hasanah sama Nurul juga sudah siap di meja”.
Istri Pak Bakri memandang suaminya dengan iba, “Ayah sakit bukan?”, tanyanya khawatir. Hari-hari terakhir ini sepertinya suaminya agak lemas dan sering termenung sendiri. Dia pikir ini karena awal puasa. Dilihatnya Pak Bakri banyak sholat sunnah, lebih dari biasanya. Seingatnya Romadlon yang lalu dia selalu bangun lebih dulu untuk menyiapkan makan sahur bersama Hasanah, anak pertamanya. Kali ini tiap dia bangun jam 03.00 suaminya sudah ada di atas sajadah. Sungguh bahagia hati Bu Bakri, walaupun agak bertanya-tanya, tidak biasanya suaminya begitu.
Ketika berbuka Pak Bakri tidak terlalu banyak bicara. Istrinya masih saja khawatir. Tapi tidak berani bertanya. Dia ingat watak Pak Bakri yang mudah marah. Anak-anaknya pun tidak berani bicara. Mereka sering juga menerima kata-kata kasar ayahnya. Walaupun sedih dan kadang-kadang kesal, mereka berdua sayang kepada ayahnya. “Sebenarnya Ayah itu baik, Nur”, begitu Hasanah sering menghibur adiknya. “Hanya saja Ayah tidak tahan, barang-barang sekarang serba mahal”, tambahnya. “Iya, tapi kan tidak harus begitu, Kak. Masa Ayah marah cuma gara-gara Nurul telat pulang. Harusnya Ayah tanya dulu. Kan Nurul belajar kelompok dulu tadi”, keluh Nurul suatu kali.
Selesai berbuka langsung Pak Bakri mengajak istri dan anak-anaknya sholat maghrib berjama’ah. Setelah sholat sunnah dan berdo’a Pak Bakri berkata, “Nanti setelah tarawih kita kumpul lagi ya. Ada yang mau Ayah bicarakan”. “Iya Yah, biasanya juga kumpul, cuma Ayah kan langsung tidur”, ujar Bu Bakri. “Iya, lagian kita nggak pernah keluar malam-malam, Yah. Ayah aneh banget deh”, kata Hasanah terheran-heran.
Sepulang sholat tarawih di masjid, mereka berkumpul di ruang makan, ruang terbesar di rumah mereka yang berukuran 7x10 m2 itu. Pak Bakri langsung membuka pembicaraan, “Ayah mau terus-terang. Ayah minta maaf kepada kalian bertiga. Sangat berat bagi Ayah untuk bicara seperti ini. Tapi Romadlon ini terasa lain buat Ayah. Umur Ayah sudah 48 tahun. Hasanah sudah 20 tahun dan Nurul 17 tahun. Ayah merasa selama ini tidak pernah membahagiakan kalian”. Suasana hening. Hasanah menunduk. Nurul langsung memegang tangan Ibunya. Bu Bakri tidak bisa menahan khawatirnya, “Ayah kenapa. Ayah sakit?”.
“Tidak, Ayah tidak sakit, Bu”, jawab Pak Bakri. “Ayah ingin mengubah keluarga kita. Mungkin orang mengatakan sudah terlambat. Tapi Ayah yakin Allah tidak pernah memandang terlambat hambanya yang akan memperbaiki diri. Ayah yakin Allah akan menolong kita”. “Maksud Ayah bagaimana? Keluarga kita kan baik-baik saja?”, tanya istrinya masih belum mengerti. “Tidak, Bu. Semua salah Ayah. Ayah merasa telah gagal memimpin keluarga. Ayah yang seharusnya menjaga diri Ayah dan kalian semua dari siksa api neraka, malah menggiring diri Ayah sendiri dan kalian masuk ke dalamnya”, jawab Pak Bakri tegas. “Jadi bagaimana, Ayah. Ibu masih belum mengerti”, Bu Bakri mulai mendesak suaminya. “Walaupun terlambat Ayah betul-betul ingin mewujudkan do’a Ajengan yang dulu mendo’akan perkawinan kita, Bu. Yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah”, jelas Pak Bakri.
“Ayah, memang keluarga kita belum sakinah, mawaddah wa rohmah?”, tanya Hasanah memberanikan diri. “Belum, sayang. Lihat, coba perhatikan. Apa kalian tidak merasakan betapa kakunya Ayah menyebut kamu sayang”, jawab Pak Bakri sambil menatap Hasanah. “Iya sih. Tapi kan nggak masalah, Ayah. Ayah aneh, begitu saja sampai harus rapat segala”, ujar Hasanah lagi. “Bukan begitu, sayang. Ayah menganggap ini masalah yang serius. Ungkapan dan panggilan itu mencerminkan apa yang di dalam hati. Ingat kan, bagaimana Rasulullah SAW memanggil Siti Aisyah dengan Humairoh (Cantik) dan Siti Fatimah dengan Zahro (Bunga)?”.
Suasana hening kembali menyelimuti ruang makan yang merangkap ruang tengah itu. TV 21 inchi duduk terdiam di atas meja, di sebelah pintu kamar. Sofa coklat sederhana hanya berjarak 3m di depan TV. Dapur kecil ada di seberang kamar agak ke belakang. Di dinding pemisah ruang tengah dan dapur ada komputer model lama berdesak-desakan dengan sofa. Pak Bakri menarik nafas panjang, “Kita harus bisa mengubah keluarga kita dari keluarga penggerutu dan pengeluh menjadi keluarga yang bersyukur dan bersemangat”, desahnya mencoba antusias. “Keluarga Ayah hanya kalian. Kalian lah permata hati Ayah. Ayah ingin berkumpul bersama kalian di dunia dengan penuh rasa damai, saling menyayangi, dan saling menghargai”.
Tangan Nurul semakin kencang menggenggam jari-jari ibunya. Hasanah makin tertunduk. Bu Bakri bergetar hatinya, menatap tajam mata suaminya. “Dan Ayah ingin berkumpul lagi bersama kalian di akhirat dalam keridloan Allah SWT,” kata Pak Bakri lirih. Tak tahan, air mata mengalir di ujung matanya. Hasanah langsung memeluk Ayahnya. Tangisnya tidak dapat dibendung lagi. Tangis yang lama sekali dirindukannya. “Yaa Allah, jangan Kau ambil lagi ni’mat kami malam hari ini. Bahkan berkenanlah Kau tambah lagi ni’mat ini di hari esok”, Hasanah makin mempererat pelukannya seakan tak mau melepaskannya. Nurul sedari tadi sudah menangis di dada ibunya. Dipeluknya anak bungsunya. Perlahan mengalir do’a yang sering diajarkan Ustadz Sobar di pengajian, “Ya Robbi, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada Ibu-Bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal soleh yang Engkau ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

MUTIARA HIKMAH :
1. Niat adalah kemauan yang kuat disertai amal untuk mencapainya
2. Niat harus disandarkan pada kerangka ibadah dan keridloan Allah SWT
3. Niat harus dinyatakan dan dijelaskan langkah-langkahnya

Read More......

Makna Rohmat Allah SWT Dalam Keluarga

Renungan Hari Keempat

MAKNA ROHMAT ALLAH SWT DALAM KELUARGA
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman (QS 30:21) :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir

Kehidupan suami-istri dalam pernikahan adalah rohmat Allah SWT. Dengan menikah dan membentuk keluarga Allah menjadikan ketentraman bagi suami atau istri. Allah membukakan jalan interaksi dalam bentuk kasih dan sayang. Jika ada hubungan kasih dan sayang, maka Allah pun akan menurunkan rohmat-Nya. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :”Allah Ar-Rohman menyayangi orang-orang yang saling berkasih-sayang. Maka saling berkasihsayang-lah di muka bumi, pasti akan mengasihimu yang di langit”.
Allah menjadikan syarat diturunkan rohmat-Nya melalui hubungan kasih sayang di antara hamba-Nya. Dan sungguh, tiada hubungan kasih sayang yang tulus dan mulia yang dapat menandingi hubungan di dalam keluarga, ayah-ibu dan anak. Tidak dalam hubungan dengan saudara dan kerabat. Tidak juga dalam hubungan tetangga. Jika hubungan dengan tetangga saja sudah menjadi ukuran iman seseorang, bagaimanakah pula hubungan di dalam keluarga?
Hubungan kasih sayang dalam keluarga menjadi semakin luas, karena Allah membukakan jalannya dengan bersatunya dua keluarga pihak suami dan istri. Juga dengan adanya anak keturunan yang banyak. Allah SWT berfirman (25:54), “Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu punya keturunan dan hubungan kekeluargaan, dan adalah Tuhanmu Maha Berkuasa”.
Pak Guru Umar yang melandaskan hubungan keluarganya dengan kasih sayang dan syukur kepada Allah menerima balasan berupa keleluasaan dalam mengatur keuangannya. Dia pun tidak pernah merasa kekurangan. Hubungan kasih sayang dengan istrinya mengalir dalam dirinya dan membentuk watak dan pribadinya yang sopan, ramah dan penuh perhatian. Cintanya pada anaknya yang sangat besar menggetarkan syaraf-syarat kepeduliannya. Tidak pernah dia berkata kasar di kelas. Tatapan matanya seakan menyentuh hati setiap muridnya. Memberi solusi dan semangat bahkan sebelum kata-katanya meluncur. Semua orang menyayangi, menghormati dan menghargainya. Cinta dan kasih-sayangnya di keluarga telah mengalir ke seluruh relung-relung hubungan dan pergaulannya yang lain.
Istri Pak Umar sebagaimana ibu-ibu yang lain bergaul dalam kelompok pengajian dan arisan. Teman-teman pergaulan merasakannya sebagai ibu yang sederhana, sopan dan menyenangkan. Tidak pernah menggunjing, menyinggung dan menyakiti hati orang lain. Sesekali ada ibu-ibu yang mengeluh kepadanya. Dengan penuh perhatian Bu Umar mendengarkan keluhan itu, dan mencoba memberi jalan keluar dengan cara yang sebaik-baiknya. Sikap seperti itu tidak mungkin muncul jika Bu Umar sering bertengkar dengan suaminya di rumah.
Begitu pula anak-anak Pak Umar. Dikenal sebagai murid yang pandai bergaul dan menyenangkan. Anak pertamanya, Ahmad, periang dan pandai bicara. Pak Umar sering mengajak keluarganya berdiskusi tentang apa saja. Mulai dari mengatur perabot rumah, mengurus tanaman di halaman, acara liburan, sampai jika ada masalah perilaku murid di sekolah. Semua dikerjakan dengan gembira dan ringan. Kebiasaan ini menjadikan Ahmad sering berinisiatif mengadakan program kelas. Dia selalu terpilih menjadi ketua kelas. Setiap memulai program selalu mengajak teman-temannya untuk bermusyawarah menentukan langkah-langkah yang harus diambil.
Adik perempuan Ahmad, Khodijah, pendiam. Tapi tidak menjadikannya dikucilkan dari pertemanan. Bicara hanya seperlunya. Ada dua kata yang sangat fasih diucapkannya. Yaitu “Terima kasih” dan “Maaf ya”. Setiap ada yang memberi, siapa pun, dalam bentuk apa pun, berapa pun dengan tangkas dan wajah tersenyum Khodijah berucap,”Terima kasih”. Pada kali lain jika merasa mengganggu atau menyinggung orang lain tanpa ragu meluncur dari mulutnya, “Aduh, maaf ya”. Di rumah baik Pak atau Bu Umar selalu berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Dan menjadikannya kebiasaan keluarga yang luar biasa.
Pagi hari sebelum berangkat sekolah saja sampai 3 atau 5 kali mereka saling melemparkan ucapan terima kasih. Jika Khodijah mengambilkan kaos kaki untuk Pak Umar meluncur ucapan “Terima kasih” dari Pak Umar. Atau ketika Ahmad mengambil tissue dan meletakkannya di meja, serentak keluar ucapan “Terima kasih” dari Bu Umar dan Khodijah. Awalnya mereka saling mentertawakan. Tetapi Pak Umar terus membiasakannya. Keyakinannya mengatakan bahwa “Terima kasih” adalah bagian dari bersyukur. Kebiasaan berterima kasih akan mendidik dirinya dan keluarganya pandai bersyukur kepada Allah SWT. Setelah 3 bulan dibiasakan, tak seorang pun di rumah yang tertawa lagi. Bahkan jika ada yang tidak berterima kasih saat menerima kebaikan, langsung ditegur.
Minta maaf adalah bagian dari beristighfar. Begitu pikir Pak Umar. Suatu pagi sudah hampir pukul 06.00, Pak Umar tergesa-gesa ke pintu. Tanpa sengaja tas Khodijah yang tergantung di kursi tersenggol dan jatuh. “Aduh, maaf De ya, nggak sengaja”, ucapnya sambil mengambil tas dan mengembalikannya ke kursi. Pak Umar sangat terkesan dengan penjelasan Ustadz di pengajian tentang macam-macam dosa. Dosa kepada Allah, seperti lalai dalam sholat, akan segera diampuni dengan sekali istighfar asal tidak mengulanginya lagi. Tetapi dosa kepada sesama tidak akan diampuni oleh Allah sebelum meminta maaf dan diterima oleh yang bersangkutan. Mulai saat itu minta maaf menjadi kebiasaan di keluarga Pak Umar. Kebiasaan ini mendidik dirinya dan keluarganya menjadi peka akan perbuatan yang menyinggung orang lain dan segera meminta maaf.
Demikianlah hubungan penuh kasih sayang di keluarga menjadi sekolah pembentukan karakter dan kepribadian yang baik. Baik bagi ayah, ibu maupun anak-anak. Bahkan keluarga dengan kebiasaan kasih sayang yang kuat dapat pula menularkan kebiasaan baik kepada keluarga yang lain. Hampir semua karakter dasar seseorang dimulai pembelajarannya di keluarga. Karakter yang baik muncul dari keluarga dengan hubungan kasih sayang yang baik. Inilah makna utama rohmat Allah dalam keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah.
Rohmat Allah adalah segala sesuatu yang menjadikan kita mudah mengenal dan ma’rifat kepada Allah SWT. Segala sesuatu yang menjadikan kita mudah beribadah kepada Allah SWT. Allah telah menurunkan rohmat-Nya pada keluarga dalam wujud hubungan kasih sayang. Hubungan yang mendidik seluruh anggota keluarga cara berhubungan dengan orang lain berlandaskan kasih sayang. Kasih sayang adalah landasan yang menjadikan suksesnya hubungan. Di rumah, bertetangga, di kantor, di jalan, atau di mana pun. Puncak keberhasilan hubungan kasih sayang adalah ma’rifat dan kemauan untuk menjadikan seluruh hidup ini ibadah kepada Allah.
Pandangan Pak Bakri terus melekat pada istrinya yang sedang mempersiapkan hidangan sahur. Hatinya trenyuh melihat istrinya mengenakan daster lusuh. Dia berusaha mengingat kapan terakhir membelikan baju untuk istrinya. Sambil menghela nafas panjang, dia menyerah. Tak mampu lagi diingatnya. “Yaa Allah, bahkan ucapan terima kasih pun belum pernah aku sampaikan pada istriku. Betapa engkau telah mengirimkan orang yang mencintai dan mengurusku, tapi aku telah melalaikannya”. Air mata menetes dari matanya yang masih sembab. Teringat suatu saat dia pernah membentak istrinya, hanya karena hidangan makanan yang tidak sesuai dengan seleranya. “Yaa Allah, ajarilah aku bersyukur kepadamu melalui rasa syukurku kepada istriku”, bisiknya lirih. Disantapnya hidangan sahur sambil terus bersyukur kepada Allah. Ditatapnya istrinya, berharap istrinya dapat menangkap cahaya “Terima Kasih” dan “Permohonan Maaf” dalam pandangan matanya

MUTIARA HIKMAH :
1. Keluarga adalah rohmat Allah SWT., yaitu jalan atau sarana beribadah untuk dapat ma’rifat dan meraih keridloan Allah SWT
2. Jika kita mensyukurinya, yaitu menciptakan sakinah dan mawaddah di dalam keluarga, maka kita akan mendapatkan rohmat itu. Jika tidak, yaitu terjadi emosi dan interaksi yang negatif, maka laknatlah yang didapat. Na’udzubillah.
3. Oleh karena itu sekuat mungkin kita harus membangun keluarga kita menjadi sakinah mawaddah wa rohmah

Read More......

Aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah adalah Kunci Ibadah

Renungan Hari Ketiga

AQIDAH AHLUS-SUNNAH WAL JAMAAH ADALAH KUNCI IBADAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman (QS 59:22-24) :
Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniai Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan

Pertanyaan terbesar umat manusia dari jaman dahulu sampai kapan pun adalah “Bagaimana caranya bisa bahagia?”. Tidak peduli orang kaya atau miskin, tua atau muda, besar atau kecil, di desa atau di kota, berpendidikan atau putus sekolah, laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, kuning atau coklat. Mereka semua ingin bahagia, dan selalu bertanya, “Bagaimana caranya saya bisa bahagia?”.
Pak Bakri teringat akan anaknya ketika berumur 3 tahun. Dia menangis, merajuk, bahkan bergulingan di sebuah toko mainan untuk mendapatkan mainan yang diinginkannya. Istrinya yang malu karena merasa diperhatikan oleh seluruh pengunjung toko, memaksa Pak Bakri untuk membelikan mainan yang cukup mahal itu. Dengan terpaksa Pak Bakri merogoh dompetnya yang tipis. Dia pikir anaknya akan bahagia dan berhenti menangis. Ternyata menangisnya yang pertama terus diikuti peristiwa-peristiwa menangis selanjutnya. Setiap ingin sesuatu anaknya akan menangis, baru berhenti setelah diberi. Sepertinya menangis yang pertama menjadi pelajaran “begitulah caranya jika ingin mendapat mainan”. Bahagiakah dia? Jika bahagia, mengapa dia menangis lagi. Bahkan lagi dan lagi. Sampai umurnya 5 tahun, tak terhitung sudah berapa kali anak Pak Bakri menangis untuk mendapatkan keinginannya.
Setelah melewati umur 5 tahun, Pak Bakri tidak pernah mendengar lagi anaknya menangis. Terpenuhikah seluruh keinginannya? Bahagiakah anak Pak Bakri? Pak Bakri sebagai seorang guru mengerti anaknya saat ini sedang menginginkan sesuatu. Sedari pagi anaknya diam. Ditanya pun tidak menjawab. Bibirnya cemberut. Wajah dan matanya menunduk, atau melihat ke arah lain, setiap ditanya atau ditatap. Umurnya saat itu 7 tahun. Pak Bakri pun lupa lagi, entah berapa kali anaknya berperilaku begitu setiap ingin sesuatu. Seingatnya, setiap anaknya merajuk dengan aksi diam, selalu dipenuhi keinginannya. Dia ingin anaknya bahagia. Saat itu Pak Bakri nyaris frustasi. “Kapan anaknya bahagia?”, ucapnya lirih.
Kita sering mengumpat di jalan. Ketika itu angkot memotong mobil kita, berhenti tepat di depan. Tidak memberi ruang gerak keluar ke jalur yang kosong. Klakson kita tekan sampai jari-jari panas. Supir angkot dengan santai memandang ke tepi jalan, berteriak pada kerumunan yang berdiri di sana, “Sukasari! Sukasari!”. Tak seorang pun yang beranjak, apalagi naik ke angkotnya. Dengan gusar ditancapnya gas, menggerutu dan mengumpat. Kita pun mengumpat “Supir angkot tidak disiplin!”, “Pemerintah amburadul!”, “Masyarakat tidak peduli!”, “Investor rakus”, “Ilmuwan mandul”, dan sebagainya. Puaskah kita? Bahagiakah kita? Beberapa survey ternyata melaporkan bahwa salah satu penyebab stres adalah perilaku tak terkendali di jalan raya. Tetapi tetap saja kita merasa bahwa setelah menggerutu dan mengumpat ada rasa puas. Mungkin karena terlihat gagah dan berani. Atau merasa telah ikut peduli dengan lingkungan. Bahkan merasa dengan mengumpat ini keadaan akan menjadi lebih baik. Kita telah membangun bangsa di jalan. Berapa kali kita mengumpat di jalan, padahal tidak pernah ada perubahan sedikit pun.
Seorang pejabat pemerintah kota bercerita bahwa dia sudah tidak tahu lagi ada pilihan lain untuk sukses. Tanpa teori dan rumus yang jelas semua seolah sepakat. Untuk sukses sebagai pejabat harus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Rumus kerja yang ada hanyalah dia harus terus naik pangkat dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Mulai dari uang perjalanan dinas, uang proyek, dana taktis, atau apa pun namanya, dan bagaimana pun caranya. Sepertinya, hanya itu yang bisa dilakukan agar dia dan keluarganya bahagia. Setelah 20 atau 30 tahun bekerja, bahagiakah pejabat ini? Sekarang dia pejabat tinggi di Jakarta. Hasil kerja kerasnya lewat KKN, satu-satunya cara sukses di lingkungan kerjanya. Dan dia masih terus mencari dan mencari “Kapan saya bahagia? Dan bagaimana caranya saya bahagia?”.
Gedung tinggi menjulang itu menjadi saksi perjuangan pedagang pasar dan penghuni rumah yang digusur. Kawasan yang dahulu pasar tradisional dan perumahan disulap menjadi super-mal dengan kemewahan dan gaya hidup supernya. Berdalih kepentingan umum, pembangunan ekonomi dan mengurangi pengangguran protes para pedagang dan penghuni rumah dikalahkan di pengadilan. Tetapi penelitian yang mendalam melaporkan bahwa investornya adalah kalangan yang dekat dengan pejabat. Dana yang dipakai adalah tabungan yang menganggur di bank. Uang rakyat yang menabung dari seluruh Indonesia. Motivasinya hanyalah kerakusan ekonomi. Menyedot dana masyarakat sebanyak-banyaknya melalui sistem perbankan, kemudian diinvestasikan untuk kepentingan segelintir orang saja. Segelintir orang yang memiliki kekayaan pribadi ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah. Bahagiakah segelintir orang itu? Ternyata mereka pun masih terus mencari dan mencari “Kapan saya bahagia? Dan bagaimana caranya saya bahagia?”. Seperti anak Pak Bakri yang terus menangis dan menangis sampai umur 5 tahun. Dan terus merajuk dengan aksi diamnya pada umur 7 tahun.
Apa yang terjadi? Orang hanya berganti cara untuk mencari kebahagiaan. Mulai dari menangis, aksi diam, KKN, dan mendzolimi yang lemah. Setelah keinginannya terpenuhi dia menyangka bahwa itulah kebahagiaan. Apa yang mereka sangka bahagia ternyata tidak menjadikan tangisan, aksi diam, KKN, atau dzolimnya berhenti. Mereka masih terus mencari dan mencari “Kapan saya bahagia? Dan bagaimana caranya saya bahagia?”.
Di hari ketiga Romadlon ini Pak Bakri merenung. Sekolahnya libur tiga hari pertama puasa. Semalaman dia tidak tidur. Terus menangis menyadari kesalahannya. Suara ‘sahur-sahur’ berkali-kali lewat di gang yang rapat dengan jendela kamarnya. Sampai istrinya datang mengingatkan, “Waktu imsak sudah dekat, Mas”. Dengan persendian yang seolah lepas dari sekujur tubuh, dikuatkannya berjalan ke meja makan yang hanya berjarak 1,5 m dari pintu kamar. Istrinya sibuk merapihkan hidangan sahur di meja. Peristiwa besar di jiwa Pak Bakri yang mengguncang raganya, lepas dari perhatiannya. Sajadah hijau bergambar ka’bah masih terbentang di sudut kamar. Basah disiram air mata tobatan-nasuha. Merembes memenuhi pori-pori sajadah. Seolah ingin bercerita betapa bahagianya ia menjadi air mata yang keluar dari hamba yang kembali ke haribaan Allah.
Air mata dan sajadah hijau di sudut kamar Pak Bakri menjadi saksi di hari pengadilan besar, hamba yang kembali kepada Allah. Kembali mengikatkan diri kepada Zat tempat mengikatkan diri yang sejati. Zat yang tiada Tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Yang Maha Pemurah dan Penyayang. Zat yang tiada Tuhan selain Dia. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniai Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Bahagiakah Pak Bakri? Ya! Bahagia yang tak sanggup pena menuliskannya. Tak sanggup kata mengucapkannya. Hanya Allah yang Maha Mengetahui Rahasia-Nya.

MUTIARA HIKMAH :
1. Fitrah manusia adalah untuk mencari dan mengejar kebahagiaan
2. Kebanyakan manusia menafsirkan dan merumuskan sendiri makna “bahagia” dan “cara mencapainya”
3. Hakikat makna “bahagia” dan “cara mencapainya” yang sebenar-benarnya adalah jika manusia mengikatkan diri kepada Allah SWT. Menyerahkan tafsir, rumus dan jalannya hanya kepada-Nya. Itulah Aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah

Read More......

Puasa Romadlon Jalan Bebas Hambatan Menuju Taqwa

Renungan Hari Kedua

PUASA ROMADLON JALAN BEBAS HAMBATAN MENUJU TAQWA

~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman (QS 2:178):

Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari tertentu

Allah SWT berfirman (QS 3:102) :

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam

Allah SWT berfirman (QS 64:16) :

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung

Setelah kita mengetahui bahwa rohmat Allah SWT sangatlah luasnya, sebagaimana firman-Nya “Dan Rohmat-Ku meliputi segala sesuatu” mengapa kita tidak segera bergerak, bertindak dan terus berusaha meraih gelar taqwa di sisi Allah SWT. Taqwa adalah derajat yang paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (QS 49:13):

Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian

Al-Imam Al-Ghazali menyatakan dalam Kitab Minhajul Abidin bahwa berkumpul seluruh kebaikan dunia dan akhirat dalam taqwa. Maksudnya dengan taqwa manusia bisa mencapai kesuksesan dunia maupun akhirat. Dua belas diantaranya disebutkan oleh Al-Imam sebagai berikut : 1. Dipuji oleh Allah (3:186); 2. Dipelihara oleh Allah dari musuh-musuh (3:120); 3. Dibela dan diberi kemenangan (16:128); 4. Dibebaskan dari kesusahan dan diberi rizki yang halal (65:2-3); 5. Dimaslahatkan amalnya (33:70-71); 6. Diampuni dosa-dosanya (33:71); 7. Dicintai oleh Allah (9:4); 8. Diterima amalnya (5:27); 9. Dimuliakan (49:13); 10. Diberi kabar gembira di dunia dan akhirat (10:63-64); 11. Diselamatkan dari siksa neraka (19:72); 12. Kekal di surga (3:133); dan masih banyak lagi.

Kita selalu berdo’a memohon taufiq dan senantiasa terikat kepada Allah, sehingga kita dapat beramal sesuai keridloan Allah. Taqwa adalah jalan dikabulkannya do’a itu, sebagaimana firman Allah :

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa (QS 2:194)

Setelah mendapat taufiq kita ingin dapat beramal ibadah dengan baik, kalau salah mohon kiranya diampuni. Taqwa pulalah jalannya, sebagaimana firman Allah (QS 33:70-71)

Hai orang-orang yang beriman bertqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.

Setelah beramal kita pun ingin agar amal kita diterima oleh Allah SWT. Jika kita bertaqwa pastilah Allah menerima amal-amal kita, sebagaimana firman-Nya (QS 5:27) :

Sesungguhnya Allah hanya menerima amal orang-orang yang bertaqwa

Taqwa sebagaimana jalan ibadah yang lain adalah berkenaan dengan kemauan bukan kemampuan. Tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang tidak mampu bertaqwa. Karena taqwa berarti melakukan sesuatu, yaitu perintah Allah SWT, dan tidak melakukan sesuatu yang lain, yaitu larangan-Nya. Dari segi kemampuan fisik, tidak seorang pun di dunia yang tidak mampu melaksanakan perintah Allah. Perintah utama yang menyangkut tindakan fisik adalah melaksanakan rukun Islam, yaitu : Syahadat, Sholat, Zakat, Shaum dan Haji. Orang kafir bukan tidak mampu membaca syahadat, tetapi mereka tidak mau. Hatinya tidak menerima Wujud, Sifat dan Tindakan Allah sebagaimana yang diterangkan sendiri oleh Allah. Mereka menafsirkan sendiri sesuai dengan keinginan nafsu. Orang kafir juga tidak rela Nabi Muhammad sebagai Rasulullah. Karena tidak menerima mereka tidak mau membaca syahadat, bukan tidak mampu.

Begitu pula sholat, zakat, shaum dan haji. Jika ada orang yang tidak melaksanakannya, baik kafir atau mukmin, bukan tidak sanggup tapi tidak mau. Jika orang tidak sholat, berarti dia memilih tidak sholat. Bukan terpaksa tidak sholat karena tidak mampu. Kalau ada orang yang sholat dzuhur jam 14.00, itu pun karena dia memilih sholat jam 14.00, bukan karena terpaksa. Demikian pula soal zakat, shaum dan haji. Termasuk masalah menutup aurat, makan berdiri, dan sebagainya. Jika ada yang tidak memakai krudung atau makan berdiri, itu karena mereka memilih perilaku itu. Bukan karena tidak mampu memakai krudung atau tidak mampu makan sambil duduk.

Pak Guru Bakri, pada kisah kita yang kemarin, ketika menerima amplop gajinya dia menggerutu. Itu adalah pilihan hatinya. Jika kita tanya sanggupkah Pak Bakri tidak menggerutu. Jawabannya pasti! “Sanggup!”. Mengapa dia menggerutu? Karena dia memilih untuk menggerutu dan mengerjakannya. Sementara Pak Umar mencium amplopnya dan bersyukur. Apakah Pak Umar struktur mulutnya berbeda dengan Pak Bakri sehingga dia tidak bisa menggerutu. Bisa! Pak Umar bisa menggerutu, tetapi dia memilih untuk mencium, bersyukur dan berucap, “Alhamdulillah”.

Mari kita renungkan. Pak Bakri dan Pak Umar dihadapkan pada potensi diri yang sama, sama-sama guru. Situasi yang sama, situasi gajian. Dan obyek yang sama, amplop berisi gaji 1 juta rupiah per bulan. Tetapi karena pilihan tindakan yang berbeda, memberi akibat yang berbeda. Di dunia, Pak Bakri dibiarkan oleh Allah untuk mengatur sendiri gajinya itu. Hatinya menjadi sempit. Pikirannya pun buntu. Hanya berpikir kurang dan kurang, tidak bisa dan tidak bisa. Ternyata betul dia tidak sanggup, dan terus saja merasa kekurangan dan terus mengeluh. Di akhirat, dia akan dihisab. Ditanya oleh Allah SWT, mengapa dia tidak bersyukur sedangkan rizkinya tidak pernah diputus.

Adapun Pak Umar, dengan bersyukur hatinya menjadi luas. Rasa optimis dan pikiran positifnya kuat. Pikirannya hanya berkata, “Gajiku ini insya Allah cukup!”. Maka pikirannya pun terbuka luas. Dia mengerti apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak. Gaji 1 juta pun dapat diaturnya dengan baik. Istrinya puas dengan apa yang dibeli dan apa yang tidak dibeli. Anak-anaknya sekolah, belajar, berprestasi dan terpenuhi gizinya dengan baik. Semua orang pun memuji Pak Umar. Pujian itu dikembalikannya kepada Allah, dan Allah membalasnya dengan keyakinan yang kuat dan jalan yang lurus. Sementara Pak Bakri yang sering mengeluh dan menggerutu di depan setiap orang, menuai cemoohan dan pikiran negatif dari orang. Pikiran negatif ini tampaknya menjadi do’a bagi Pak Bakri. Sehingga makin sempitlah hatinya dan semakin buntu jalan hidupnya. Wallahu a’lam.

Allah SWT telah menjanjikan derajat taqwa bagi orang beriman yang berpuasa di bulan Romadlon. Bisa berarti bahwa di bulan Romadlon ini orang beriman lebih mudah cenderung kepada menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Itu semua adalah kemurahan Allah SWT.

Hari kedua berpuasa tiba-tiba Pak Bakri merenung. Betapa umurnya telah 48 tahun, dia belum pernah tidak makan sehari pun. Bahkan jarang sakit. Demikian pula istrinya yang telah mendampinginya 21 tahun. Sehat dan ceria. Anaknya yang tidak jadi sarjana, ternyata rajin sholatnya dan tidak merepotkan. Renungan ini terus melekat di pikirannya. Malam harinya Allah berkehendak menggoreskan renungan itu di relung bashirohnya. Meledaklah tangis dalam sujud Pak Bakri malam itu. Disadari kesalahannya. Terbayang jelas wajah teman-temannya yang mencibir dan kaku setiap dia mengeluh dan menggerutu. Rasa malu seolah memperbesar saluran di ujung matanya. Air mata mengalir deras membasahi sajadah yang sedari tadi lembab seolah ikut bersedih. Pak Bakri bertobat. Dan malam itu Arsy berguncang. Langit bergemuruh oleh tasbih Malaikat yang terkagum-kagum. Angin malam yang lembut dan sejuk masuk, perlahan seolah takut mengganggu khusyu’ Pak Bakri. Allah telah menerima tobat Pak Bakri.

Demikianlah Bulan Romadlon telah mengantarkan berjuta-juta umat Islam di dunia bertobat dan kembali kepada Allah. Berjuta-juta pula orang kafir menerima taufiq. Mengalir hidayah memenuhi seluruh sel dan jaringan tubuhnya. Sel-sel yang bergetar mendengar suara ALLAH disebut. Sel-sel yang merunduk ketika mulut berdzikir. Sel-sel yang bercahaya ketika bersujud. Sel-sel yang berguncang ketika dibawa ma’siat. Sel-sel yang tidak ridlo dipaksa berlaku dzolim. Sel-sel yang akan menjadi saksi di hadapan Hakim Yang Maha Adil.

MUTIARA HIKMAH :

1. Taqwa adalah puncak Romadlon dengan berbagai ni’mat dunia dan akhirat di dalamnya

2. Kemauan lah yang menjadi kunci taqwa, bukan kemampuan

Allah sendiri yang menolong hamba yang berjuang menuju taqwa di Bulan Romadlon

Read More......