Minggu, 21 Oktober 2007

Renungan Hari Kesepuluh

ANAK SEBAGAI MOTIVASI UTAMA
KELUARGA SAKINAH MAWADDAH WA ROHMAH
~ Ust. H. Ir. Anom Wiratnoyo, MM. bin Sutardjo ~

Allah SWT berfirman :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka”

Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitroh. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasroni atau majusi”

Keadaan seorang Ibu yang hamil sungguh luar biasa. Tiba-tiba semua ibu-ibu yang ditemuinya di jalan, di pasar, di tempat kerja, di mal dan di mana pun terlihat sedang hamil atau mendorong kereta bayi. Ini bukanlah hipnotis atau Ibu itu sakit mata. Tapi puncak kebahagiaan telah menyedot fokus perhatiannya kepada Ibu hamil yang tertangkap pandangan matanya. Sehingga Ibu yang tidak hamil terlewat dari perhatiannya. Seperti seorang remaja baru mendapat hadiah motor honda. Maka seolah seluruh motor di jalan adalah honda yang setipe dengan miliknya. Kegembiraan telah mengarahkan perhatian orang kepada obyek yang menjadikan kegembiraannya. Dan mengabaikan yang lain.
Kata pertama yang terucap oleh Ibu setiap berbicara dengan orang dekat, atau siapa pun, adalah soal bayi yang dikandungnya. Tak mau kalah teman yang bertemu dengan sangat antusias menanyakan keadaan si bayi, seolah berebut menarik perhatian si jabang bayi. Tak ketinggalan keempat kakek-neneknya berlomba menjadi juru bicara paling canggih bagi si makhluk mungil dalam rahim itu. Semua dengan bayangan yang sama seorang bayi mungil yang lucu, sehat, menggemaskan, menggugah semangat dan memberi harapan masa depan yang cerah.
Ayahnya pun demikian. Setiap telpon ke rumah yang ditanyakan adalah keadaan bayinya. Semangat kerjanya terpompa hampir sepuluh kali lipat. “Semua keringat yang menetes ini adalah untuk belahan jiwaku”, katanya. Jauh hari sebelum kelahiran musyawarah dilakukan untuk mempersiapkan perlengkapan bayi. Kalau bisa yang terbaik dan termahal yang mampu dibeli. Hari-hari diisi dengan menata ulang posisi furnitur di kamar utama. Mengatur posisi terbaik untuk tempat tidur bayi.
Seluruh kebahagiaan, antusias dan semangat yang dibalut cinta ini adalah rohmat Allah SWT. Rohmat yang menghapus penderitaan Ibu yang membawa beban 1,5 – 3 kg kemana pun dia pergi. Beban yang tidak bisa dilepasnya sedetikpun untuk disimpan sejenak di atas meja. Seperti tasnya yang hanya 0,6 kg diletakkan sejenak di meja untuk mengurangi sedikit rasa pegal ketika kondangan. Allah mengabadikan penderitaan ini dengan firman-Nya (QS 31:14), “Lemah yang bertambah-tambah”.
Rahim yang hanya sebesar telur bebek tiba-tiba membesar untuk dapat menampung bayi yang panjangnya 50 cm dan beratnya 3,0 kg. Makhluk yang tidak hanya berdiam diri di perut Ibunya. Bahkan malam hari ketika Ibu tertidur lelap pun terkadang bayi mungil ini menendang dinding rahim. Memaksa rahim untuk lentur dan kuat. Ibu yang terkejut terbangun seketika. Mulutnya langsung tersenyum. Tangannya mengusap perutnya yang buncit sambil berdo’a, “Nak, apa pun yang kau lakukan Ibu ridlo”.
Tibalah masa persalinan. Allah SWT mengabadikannya dengan firman-Nya (QS 46:15), “Susah payah”. Bayi dengan panjang 50 cm dan berat 3,0 kg itu harus keluar melalui lubang persalinan yang tak sebanding dengan ukurannya. Perjuangan Ibu melahirkan sering disebut sebagai perjuangan hidup dan mati. Sakit yang luar biasa. Energi harus dikuras dengan teknik nafas tertentu. Ketika bayi berhasil keluar lemas seluruh persendian. Luluh seluruh syaraf. Lemah terasa seluruh otot. Ruh seakan melayang entah kemana. Sejenak seakan berada di satu ruang kosong tak bertepi. Begitu bayi mungil disodorkan ke lengan kanannya yang masih tergeletak. Satu sentuhan menyentak syaraf lengan Ibu. Mengalir dengan kecepatan super ke seluruh tubuh. Memanggil kembali ruh yang sempat limbung. Menghidupkan kembali seluruh sel, jaringan dan syaraf. Kekuatan baru mendadak muncul. Berlipat ganda dibanding sebelumnya. Rohmat Allah SWT kembali memeluk Ibu yang berjuang penuh keikhlasan dan cinta.
Pengasuhan 1-2 tahun adalah masa yang sangat kritis. Karena bayi betul-betul dalam keadaan tidak berdaya. Sangat bergantung pada orang dewasa. Ayah dan Ibu sibuk mengurusnya siang dan malam. Terkadang kedua nenek ikut mengasuh dan menjaga. Bersenandung sambil mengajarkan kalimat “Laa ilaha illa-llah”.
Umur 2-5 tahun adalah masa pengasuhan yang sangat melelahkan. Anak mulai menjelajah. Bukan hanya wilayah bergeraknya yang makin meluas. Semua barang ingin dikenalnya dengan menyentuh atau menggigitnya, tanpa tahu sedikitpun bahayanya. Tapi masa balita ini pun dapat dilalui dengan baik. Tidak satu pun balita di dunia ini yang menjengkelkan. Semuanya lucu dan menggemaskan jika dipandang. Pandangan yang dipenuhi rohmat Allah SWT.
Memasuki usia sekolah adalah masa yang membutuhkan biaya sangat besar. Sering kali bukan hanya Ayah, Ibu pun ikut bekerja. Kondisi yang makin menjauhkan hubungan orang tua dan anak. Keadaan perlahan mulai berubah. Cinta dan kasih sayang yang telah terjalin hampir 6 tahun dari sejak kandungan. Cinta dan kasih sayang yang diselimuti rohmat Allah SWT. Mulai menghampiri titik baliknya. Ayah-Ibu yang sibuk dan lelah bekerja seakan belajar untuk mengumpat anaknya, “Nggak tahu Bapak capek. Kamu bisanya minta mainan melulu. Kapan kamu belajar”.
Sungguh tidak ada yang memungkiri lelahnya Ayah, dan juga Ibu, yang bekerja. Juga tidak ada yang menolak bahwa hasil bekerjanya itu adalah untuk anak. Untuk gizi, prestasi dan kesenangan anak lainnya. Tapi jika ada Ayah, apalagi Ibu, yang berkata atau bersikap kasar bahkan mengumpat kepada anaknya, sungguh bukan suatu cara yang diridloi oleh Allah SWT. Ayah dan Ibu tidak perlu bersikap kasar kepada anak, bagaimana pun keadaannya, dengan alasan capek yang langsung diucapkan maupun yang terselubung. Capek terselubung adalah ketika orang tua tidak menyadari kondisi lelahnya, langsung merespon kesalahan anak. Yang terjadi adalah pengendalian emosi yang sangat lemah. Kemarahan bisa meledak tanpa ujung pangkal. Jika hal ini sering diulang maka menjadi kebiasaan yang akan dibenarkan oleh orang tua itu sendiri. Karena hanya 1 per 1.000.000 orang tua yang mau mengakui kesalahannya dalam mendidik anak.
Pak Bakri menyadari betapa susah dan beratnya dia berusaha mengubah perilakunya terhadap Hasanah dan Nurul anaknya. Dua puluh tahun umur Hasanah dan 17 tahun Nurul, jarang sekali dia berkata manis pada mereka. Sifatnya yang emosional dan kekesalannya di sekolah ditumpahkannya di rumah. Istrinya yang semula tidak pernah berkata kasar, jadi terbawa virus emosi yang disebarkannya. Nuansa rumahnya adalah nuansa emosi. Dari bangun tidur sampai mau tidur. Hanya saat tidurlah saat yang bebas dari ucapan keras di rumah itu.
Sekarang bahkan untuk mengucapkan “sayang” kepada anaknya terasa kaku di lidahnya. Seakan kata itu adalah kosa kata bahasa asing yang baru dipelajarinya. Tetapi tekadnya sudah bulat dan mantap. “Aku harus berubah atau api neraka akan menyantapku”, begitu kalimat yang diucapkannya di sela do’anya. Terbayang suasana di akherat yang dengan dramatis dan berkesan disampaikan Ustadz Sobar dalam satu pengajian, “Diriwayatkan ada seorang hamba yang berjalan hendak masuk ke dalam surga. Malaikat mengiringinya dengan menebarkan bau yang harum. Ketika hamba ini sudah siap masuk ke surga, tiba-tiba terdengar suara yang keras, “Tahan! Dia ayahku aku adalah anaknya. Aku ada di neraka adalah gara-gara dia. Dulu, dia tidak pernah mengajarku ibadah dengan benar. Dia membiarkan aku tidak sholat. Dia membiarkan aku tidak puasa. Dia membiarkan aku berani melawan padanya dan pada ibuku. Dia membiarkan aku berzina. Sekarang aku akan menuntutnya”.

MUTIARA HIKMAH :
1. Orang tua telah mengorbankan segala sesuatu untuk mempersiapkan kelahiran bayi, mengasuh dan mendidiknya.
2. Seharusnyalah pengorbanan itu dituntaskan dengan pengasuhan yang penuh kasih sayang dan pendidikan yang mengakar pada aqidah, syariat dan akhlaq secara kuat.
3. Kesalahan orang tua dalam mendidik anaknya, besar maupun kecil, akan menjadi tuntutan di hari penuntutan

Tidak ada komentar: