Jumat, 16 Maret 2012

Kunci Bahagia

Pertanyaan terbesar umat manusia dari jaman dahulu sampai kapan pun adalah “Bagaimana caranya bisa bahagia?”. Tidak peduli orang kaya atau miskin, tua atau muda, besar atau kecil, di desa atau di kota, berpendidikan atau putus sekolah, laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, kuning atau coklat. Mereka semua ingin bahagia, dan selalu bertanya, “Bagaimana caranya saya bisa bahagia?”.

Pak Gopal teringat akan anaknya ketika berumur 3 tahun. Dia menangis, merajuk, bahkan bergulingan di sebuah toko mainan untuk mendapatkan mainan yang diinginkannya. Istrinya yang malu karena merasa diperhatikan oleh seluruh pengunjung toko, memaksa Pak Gopal untuk membelikan mainan yang cukup mahal itu. Dengan terpaksa Pak Gopal merogoh dompetnya yang tipis. Dia pikir anaknya akan bahagia dan berhenti menangis. Ternyata menangisnya yang pertama terus diikuti peristiwa-peristiwa menangis selanjutnya. Setiap ingin sesuatu anaknya akan menangis, baru berhenti setelah diberi. Sepertinya menangis yang pertama menjadi pelajaran “begitulah caranya jika ingin mendapat mainan”. Bahagiakah dia? Jika bahagia, mengapa dia menangis lagi. Bahkan lagi dan lagi. Sampai umurnya 5 tahun, tak terhitung sudah berapa kali anak Pak Gopal menangis untuk mendapatkan keinginannya.

Setelah melewati umur 5 tahun, Pak Gopal tidak pernah mendengar lagi anaknya menangis. Terpenuhikah seluruh keinginannya? Bahagiakah anak Pak Gopal? Pak Gopal mengerti anaknya saat ini sedang menginginkan sesuatu. Sedari pagi anaknya diam. Ditanya pun tidak menjawab. Bibirnya cemberut. Wajah dan matanya menunduk, atau melihat ke arah lain, setiap ditanya atau ditatap. Umurnya saat itu 7 tahun. Pak Gopal pun lupa lagi, entah berapa kali anaknya berperilaku begitu setiap ingin sesuatu. Seingatnya, setiap anaknya merajuk dengan aksi diam, selalu dipenuhi keinginannya. Dia ingin anaknya bahagia. Saat itu Pak Gopal nyaris frustasi. “Kapan anaknya bahagia?”, ucapnya lirih.

Kita sering mengumpat di jalan. Ketika itu angkot memotong mobil kita, berhenti tepat di depan. Tidak memberi ruang gerak keluar ke jalur yang kosong. Klakson kita tekan sampai jari-jari panas. Supir angkot dengan santai memandang ke tepi jalan, berteriak pada kerumunan yang berdiri di sana, “Grogol! Grogol!”. Tak seorang pun yang beranjak, apalagi naik ke angkotnya. Dengan gusar ditancapnya gas, menggerutu dan mengumpat. Kita pun mengumpat “Supir angkot tidak disiplin!”, “Pemerintah amburadul!”, “Masyarakat tidak peduli!”, “Investor rakus”, “Ilmuwan mandul”, dan sebagainya. Puaskah kita? Bahagiakah kita? Beberapa survey ternyata melaporkan bahwa salah satu penyebab stres adalah perilaku tak terkendali di jalan raya. Tetapi tetap saja kita merasa bahwa setelah menggerutu dan mengumpat ada rasa puas. Mungkin karena terlihat gagah dan berani. Atau merasa telah ikut peduli dengan lingkungan. Bahkan merasa dengan mengumpat ini keadaan akan menjadi lebih baik. Merasa telah membangun bangsa di jalan. Berapa kali kita mengumpat di jalan, sambil tidak ada perubahan sedikit pun.

Seorang pejabat pemerintah kota bercerita bahwa dia sudah tidak tahu lagi ada pilihan lain untuk sukses. Tanpa teori dan rumus yang jelas semua seolah sepakat. Untuk sukses sebagai pejabat harus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Rumus kerja yang ada hanyalah dia harus terus naik pangkat dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Mulai dari uang perjalanan dinas, uang proyek, dana taktis, atau apa pun namanya, dan bagaimana pun caranya. Sepertinya, hanya itu yang bisa dilakukan agar dia dan keluarganya bahagia. Setelah 20 atau 30 tahun bekerja, bahagiakah pejabat ini? Sekarang dia pejabat tinggi di Jakarta. Hasil kerja kerasnya lewat KKN, cara yang lazim untuk meraih sukses di lingkungan kerjanya. Dan dia masih terus mencari dan mencari “Kapan saya bahagia? Dan bagaimana caranya saya bahagia?”.

Gedung tinggi menjulang itu menjadi saksi perjuangan pedagang pasar dan penghuni rumah yang digusur. Kawasan yang dahulu pasar tradisional dan perumahan disulap menjadi super-mal dengan kemewahan dan gaya hidup supernya. Berdalih kepentingan umum, pembangunan ekonomi dan mengurangi pengangguran protes para pedagang dan penghuni rumah dikalahkan di pengadilan. Tetapi penelitian yang mendalam melaporkan bahwa investornya adalah kalangan yang dekat dengan pejabat. Dana yang dipakai adalah tabungan yang menganggur di bank. Uang rakyat yang menabung dari seluruh Indonesia. Motivasinya hanyalah kerakusan ekonomi. Menyedot dana masyarakat sebanyak-banyaknya melalui sistem perbankan, kemudian diinvestasikan untuk kepentingan segelintir orang saja. Segelintir orang yang memiliki kekayaan pribadi ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah. Bahagiakah segelintir orang itu? Ternyata mereka pun masih terus mencari dan mencari “Kapan saya bahagia? Dan bagaimana caranya saya bahagia?”. Seperti anak Pak Gopal yang terus menangis dan menangis sampai umur 5 tahun. Dan terus merajuk dengan aksi diamnya pada umur 7 tahun.

Apa yang terjadi? Orang hanya berganti cara untuk mencari kebahagiaan. Mulai dari menangis, aksi diam, KKN, dan menzolimi yang lemah. Setelah keinginannya terpenuhi dia menyangka bahwa itulah kebahagiaan. Apa yang mereka sangka bahagia ternyata tidak menjadikan tangisan, aksi diam, KKN, atau zolimnya berhenti. Mereka masih terus mencari dan mencari “Kapan saya bahagia? Dan bagaimana caranya saya bahagia?”.

Di hari ketiga Ramadan ini Pak Gopal merenung. Semalaman dia tidak tidur. Terus menangis menyadari kesalahannya. Suara ‘sahur-sahur’ berkali-kali lewat di gang yang rapat dengan jendela kamarnya. Sampai istrinya datang mengingatkan, “Waktu imsak sudah dekat, Mas”. Dengan persendian yang seolah lepas dari sekujur tubuh, dikuatkannya berjalan ke meja makan yang hanya berjarak 1,5 m dari pintu kamar. Istrinya sibuk merapihkan hidangan sahur di meja. Peristiwa besar di jiwa Pak Gopal yang mengguncang raganya, lepas dari perhatiannya. Sajadah hijau bergambar ka’bah masih terbentang di sudut kamar. Basah disiram air mata tobatan-nasuha. Merembes memenuhi pori-pori sajadah. Seolah ingin bercerita betapa bahagianya ia menjadi air mata yang keluar dari hamba yang kembali ke haribaan Allah.

Air mata dan sajadah hijau di sudut kamar Pak Gopal menjadi saksi di hari pengadilan besar, hamba yang kembali kepada Allah. Kembali mengikatkan diri kepada Zat tempat mengikatkan diri yang sejati. Zat yang tiada Tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Yang Maha Pemurah dan Penyayang. Zat yang tiada Tuhan selain Dia. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniai Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Bahagiakah Pak Gopal? Ya! Bahagia yang tak sanggup pena menuliskannya. Tak sanggup kata mengucapkannya. Hanya Allah yang Maha Mengetahui Rahasia-Nya.

Read More......

Minggu, 11 Maret 2012

Dari Komunikasi Lisan ke Tulisan

Hidup manusia tidak terlepas dari komunikasi. Komunikasi lisan maupun tulisan. Komunikasi lisan langsung dan lebih hidup. Komunikasi tulisan berjangka panjang, dan mempunyai makna yang terdokumentasi. Isi tulisan memberi kesempatan pemaknaan yang ditunda, berkembang dan mengikuti masanya. Terkadang makna komunikasi memerlukan masa yang tepat. Makna sebenarnya muncul tatkala masanya membutuhkan. Bagaikan foto klasik yang memberikan kenangan yang mendalam, di saat peristiwa menyentuh kerinduan.

Mulailah komunikasi tulisan dengan menghimpun komunikasi lisan yang terserak di rumah, kantor, rapat, seminar dan sebagainya. Tanpa menulisnya banyak gagasan brilian yang terlewat dan lenyap ditelan waktu dan canda. Andai pun tak ada ide cemerlang, memotret kata dan peristiwa serta mengungkapnya dalam bahasa tulisan sungguh merupakan kenikmatan. Ulama salafus-soleh (ulama soleh jaman dahulu) merasakan kenikmatan ini, yaitu ni’mat menulis apa yang mereka ucapkan, lihat, dengar dan rasakan.

Bagi diri-sendiri komunikasi tulisan mendorong tumbuhnya kepercayaan. Pertama, karena ia dapat membaca tulisannya berulang-ulang dan menyadari keberadaan dirinya. Kedua, ia dapat mempelajari tulisannya dan memperbaiki kekurangan dan kesalahannya untuk menjadi manusia baru yang lebih baik. Ketiga, ia bisa melihat konsistensi satu tulisan ke tulisan berikutnya, lalu membangun keyakinan dan kepercayaan diri. Kebenaran akan tumbuh karena konsistensi yang kuat dalam tulisan.

Bagi orang lain komunikasi tulisan adalah media belajar yang luar biasa. Pertama, karena mereka dapat membaca dan memaknai tulisan kita kapan pun. Kedua, mereka dapat memaknai tulisan dengan cara apapun tanpa takut si penulis tersinggung. Ketiga, mereka bebas membandingkan tulisan kita dengan tulisan lain untuk mencapai pemaknaan terbaik.

Komunikasi tulisan pun mendorong tumbuhnya kekuatan struktur organisasi. Visi, misi, konsep, strategik, taktik, teknik, praktik dan prosedur yang tercatat dengan baik adalah pondasi dan komponen struktur organisasi yang utama. Membaca, mempelajari dan menerapkan berbagai tulisan ini bagaikan memungut batu, semen dan pasir merekatkannya menjadi bangunan organisasi yang kokoh, termasuk organisasi sekolah.

Mari wujudkan kita adalah manusia penulis bukan hanya penutur. Sehingga ketika mengamalkan Surat al-Alaq ayat 1-5 kita tidak hanya menjadi subyek pembaca tetapi juga subyek yang dibaca.

Read More......

Rabu, 22 Februari 2012

Bahagia Dalam Ibadah

Kita semua ingin bahagia. Tetapi kita bingung bagaimana mencarinya. Karena ternyata ada orang yang ma’siyat hidupnya bahagia juga. Bahkan sebaliknya ada orang yang ibadah tapi hidupnya menderita. Bukankah Islam mengajarkan orang yang ibadah pasti hidupnya bahagia, sebaliknya orang yang ma’siyat hidupnya akan menderita. Jika konsekuensi itu terjadinya di akherat kita bisa memahaminya. Tapi kita ingin juga hidup bahagia di dunia. Bukankah Allah pun mengijinkan kita untuk bahagia di dunia? (QS 2:201)

Kalau diperhatikan lebih jauh, ternyata selain ada orang yang ma’siyat hidupnya bahagia dan yang ibadah hidupnya menderita, ada pula orang yang ma’siyat hidupnya menderita dan yang ibadah hidupnya bahagia.

Orang yang ma’siyat dan menderita adalah orang yang lahirnya menderita dan batinnya menderita. Orang yang ma’siyat dan bahagia adalah orang yang lahirnya bahagia tapi batinnya menderita. Orang yang ibadah dan menderita adalah orang yang lahirnya menderita tapi batinnya bahagia. Orang yang ibadah dan bahagia adalah orang yang lahirnya bahagia dan batinnya bahagia.

Jadi bahagia jenis manakah yang kita inginkan? Bahagia lahir atau batin saja, ataukah bahagia lahir dan batin? Jika ingin bahagia lahir dan batin, jadikanlah hidup kita bahagia dalam ibadah. Banyak orang yang menderita dalam ibadahnya. Itu karena mereka menjadikan ibadah sebagai beban. Sehingga mereka ibadah dengan terpaksa. Jadikanlah ibadah sebagai pilihan, maka kita akan bahagia lahir dan batin.

Kita adalah seorang hamba yang lemah, Allahlah Yang Maha Pencipta dan Maha Kuat. Meskipun kita bisa memilih mau ibadah atau ma’siyat, pilihlah untuk ibadah. Karena ibadah itu adalah perintah Allah. Allah tidak memerintahkan sesuatu melainkan untuk kebahagiaan kita. Jika suatu saat Allah menurunkan ujian berupa penderitaan, maka yakinlah ada hikmah besar di balik ujian itu. Hikmah inilah yang akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan yang lebih besar. Bahkan kebahagiaan yang sangat besar nanti akan kita terima di dalam surga yang telah Allah sediakan bagi hamba-Nya yang bertaqwa.

Read More......

Rahmat Pengantar Sukses

Jika untuk meraih sukses di dunia beratnya bukan main, bagaimana mungkin kita bisa sukses di akherat, tempat yang super gaib itu? Jawabannya adalah karena ada rahmat Allah. Bahkan Rasulullah SAW pun masuk surga karena rahmat Allah SWT.

Lalu apa itu rahmat Allah? Rahmat adalah segala kebaikan, semua hal positif, yang Allah SWT anugerahkan kepada semua manusia tanpa kecuali. Imam Ghozali, dalam Ihya ‘Ulumud-din, menjelaskan bahwa ada tiga macam rahmat Allah. Pertama, adalah rahmat azazi, yaitu rahmat dasar atau umum yang Allah berikan kepada semua manusia, tidak membedakan beriman atau tidak. Rahmat ini diberikan tanpa diminta, seperti mata, telinga, otak, kaki, tangan, dan anggota tubuh yang lain. Termasuk fungsi dari masing-masing anggota tubuh, seperti melihat, mendengar, merasa, berpikir, berjalan, bekerja, dan sebagainya. Walaupun anggota tubuh manusia serupa dengan anggota tubuh monyet, tetapi manusia memiliki fungsi dan kemampuan yang jauh lebih sempurna. Rahmat yang dibagi ini adalah potensi dasar, potensi azazi, untuk mengenal Allah SWT.

Kedua, rahmat ikhtiariy atau rahmat berusaha, yaitu dorongan berusaha yang sesuai dengan minat dan bakat yang Allah berikan. Ada orang yang minat dan bakatnya pada matematika, bahasa, seni, olah raga dan sebagainya. Dengan minat dan bakat yang berbeda-beda ini kita memiliki profesi yang berbeda-beda pula. Hikmahnya adalah kita tidak perlu berebut rizki, karena Allah Yang Maha Kaya telah membagi rizki-Nya melalui berbagai jalan sesuai minat dan bakat kita. Yang harus kita lakukan adalah berdoa dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraih karunia Allah di dunia dan akherat.

Ketiga, rahmat tambahan, yaitu rahmat yang Allah berikan sesuai kehendak Allah, jumlahnya maupun kepada siapa diberikan. Rahmat ketiga disebut juga dengan barokah. Syarat untuk mendapatkan barokah adalah dengan iman dan taqwa, sebagaimana firman Allah SWT (QS 7:96), “Jikalau sekiranya penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa sungguh akan Kami bukakan bagi mereka pintu barokah dari langit dan dari bumi”.

Read More......

Yang Mulia Yang Taqwa

Taqwa adalah derajat yang paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman (QS 49:13),”Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian.” Dengan taqwa manusia bisa mencapai kesuksesan dunia maupun akhirat, diantaranya adalah : 1. Dipuji oleh Allah (3:186); 2. Dipelihara oleh Allah dari musuh-musuh (3:120); 3. Dibela dan diberi kemenangan (16:128); 4. Dibebaskan dari kesusahan dan diberi rizki yang halal (65:2-3); 5. Dimaslahatkan amalnya (33:70-71); 6. Diampuni dosa-dosanya (33:71); 7. Dicintai oleh Allah (9:4); 8. Diterima amalnya (5:27); 9. Dimuliakan (49:13); 10. Diberi kabar gembira di dunia dan akhirat (10:63-64); 11. Diselamatkan dari siksa neraka (19:72); 12. Kekal di surga (3:133); dan masih banyak lagi.

Kita selalu berdo’a memohon taufiq dan hidayah agar hidup kita menjadi ibadah dan Allah ridho kepada kita. Taqwa adalah jalan dikabulkannya do’a itu. Allah SWT berfirman (QS 2:194),”Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwaSetelah mendapat taufiq dan hidayah kita ingin terus-menerus bisa memperbaiki amal-ibadah kita dan jika berdosa segera diampuni, taqwa pulalah jalannya. Allah SWT berfirman (QS 33:70-71),”Hai orang-orang yang beriman bertqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.” Terakhir kita ingin agar amal kita diterima oleh Allah SWT. Jika kita bertaqwa pastilah Allah menerima amal-amal kita. Allah SWT berfirman (QS 5:27),” Sesungguhnya Allah hanya menerima amal orang-orang yang bertaqwa.”

Taqwa itu mudah tidak perlu kemampuan yang rumit-rumit cukup hanya dengan kemauan yang kuat. Taqwa berarti melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang tidak beriman kepada Allah bukan tidak mampu beriman, tetapi mereka tidak mau beriman. Hatinya tidak mau menerima Wujud, Sifat dan Tindakan Allah sebagaimana yang diterangkan sendiri oleh Allah. Mereka menafsirkan sendiri sesuai dengan keinginan nafsu. Orang yang ingkar kepada Allah juga tidak rela Nabi Muhammad sebagai Rasulullah. Sehingga mereka tidak mau membaca kalimat syahadat asyhadu an laa ilaha illa-llah wa asyhadu anna Muhammdan Rasulullah.

Begitu pula perintah lain, seperti sholat, jika kita tidak sholat berarti kita memilih untuk tidak sholat bukan tidak bisa sholat. Kalau kita sholat dzuhur jam 14.00, itu pun karena kita memilih sholat jam 14.00, bukan karena tidak mampu di awal waktu. Termasuk masalah menutup aurat, makan berdiri, dan sebagainya. Jika ada orang yang membuka aurat di muka umum atau makan berdiri, itu karena mereka memilih perilaku itu. Bukan karena tidak mampu menutup aurat atau tidak mampu makan sambil duduk.

Maka, jika kita ingin mulia pilihlah hidup bertaqwa, karena taqwa itu pilihan bukan paksaan.

Read More......